Tuesday, 22 September 2009
BABAD PULASARI
Mudah-mudahan tiada halangan !
Permohonan maaf hamba ke hadapan arwah para leluhur yang disemayamkan dalam wujud Ongkara dan selalu dipuja dengan hati suci. Dengan memuja dan memuji kebesaran Sanghyang Siwa semoga penulis terhindar dari segala kutukan, derita, cemar, duka-nestapa, dan halangan lainnya. Mudah-mudahan tujuan hamba yang suci ini berhasil serta bebas dari dosa-dosa karena menguraikan cerita leluhur di masa lampau, semoga direstui sehingga mendapat kejayaan, keselamatan, keabadian, panjang usia, sampai dengan seluruh keluarga turun temurun.
Baiklah kisah ini saya mulai:
Majapahit yang dipimpin Raja Putri: Sri Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani bersama Patih Agung: Gajah Mada berhasil menguasai Kerajaan Bali Aga yang dipimpin oleh Raja: Paduka Bathara Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten (dikenal dengan nama: Bedahulu) dengan Patih: Ki Pasung Grigis dan Ki Kebo Iwa, pada tahun 1343 M atau isaka 1265.
Pimpinan Pemerintahan sementara diserahkan kepada Mpu Jiwaksara yang kemudian bergelar Ki Patih Wulung. Beliau menempatkan pusat Pemerintahan di Gelgel. Walaupun Bali sudah dikalahkan Majapahit, tidak berarti rakyat dan tokoh-tokoh militer Bali Aga sudah menyerah. Mereka terus mengadakan perlawanan di bawah tanah, dan sekali-sekali muncul ke permukaan, misalnya pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di Batur.
Setelah tujuh tahun barulah pemberontakan-pemberontakan dapat dipadamkan, namun rakyat Bedahulu masih belum mau menerima kehadiran "si-penjajah" sepenuh hati. Melihat keamanan sudah membaik dan Pemerintahan sudah dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka pada tahun 1350 M atau 1272 isaka, Ki Patih Wulung berangkat ke Majapahit untuk menghadap Sri Ratu. Tujuannya adalah melaporkan situasi di Bali dan memohon penunjukan seorang Raja di Bali Dwipa.
Atas saran Patih Agung Gajah Mada, pada tahun itu juga dilantiklah empat orang Raja, putra-putri Sri Soma Kepakisan, untuk memimpin kerajaan-kerajaan yang sudah ditaklukkan, yaitu: Sri Juru, menjadi Raja di Blambangan, Sri Bhima Sakti menjadi Raja di Pasuruan, Sri Kepakisan (putri) menjadi Raja di Sumbawa, dan Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja di Bali Dwipa.
Dalem Ketut kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Ki Patih Wulung menjabat sebagai Mangku Bumi.
Dalem Sri Kresna Kepakisan beristri dua, yaitu yang pertama: Ni Gusti Ayu Gajah Para, melahirkan: Dalem Wayan (Dalem Samprangan), Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan), Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak), dan Dalem Ketut (Dalem Ketut Ngulesir). Istri yang kedua: Ni Gusti Ayu Kuta Waringin, melahirkan: Dewa Tegal Besung.
Dalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka. Beliau digantikan oleh putranya yang tertua yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem Sri Agra Samprangan. Beliau memerintah secara sah sampai tahun 1383 M atau 1305 isaka, kemudian beliau digantikan oleh adiknya yaitu: Dalem Ketut Ngulesir, bergelar Dalem Sri Semara Kepakisan, memerintah sejak tahun 1383 M atau 1305 isaka sampai tahun 1460 M atau 1382 isaka. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Samprangan ke Gelgel yang diberi nama baru: Sweca Pura.
Di awal pemerintahan Dalem Sri Agra Samprangan (tahun 1373 M atau 1295 isaka) terasa situasi di Puri Samprangan memburuk, yaitu adanya upaya mengadu domba Raja dengan adik-adik beliau yang dilakukan oleh para Menteri dan pembantu dekat Raja.
Untuk menghindari pertengkaran, maka kedua adik Raja yaitu Dalem Di-Madia dan Dalem Ketut, memilih tinggal di luar istana. Dalem Di-Madia membangun istana dan bermukim di Desa Tarukan, Pejeng, oleh karena itu beliau bergelar : Dalem Tarukan. Dalem Ketut, tidak menetap. Beliau berpindah-pindah dari satu Desa ke Desa lain, menyamar sebagai penjudi ayam aduan; penduduk lalu menjuluki beliau : Dalem Ketut Ngulesir.
Selain untuk menghindari pertengkaran, beliau berdua juga bermaksud menyelidiki dukungan rakyat Bali (Bali-Aga) terhadap pemerintahan Samprangan serta mengadakan pendekatan dengan rakyat. Ide Bethara Dalem Tarukan memilih Desa Tarukan di Pejeng sebagai istana, karena dekat dengan rakyat Bedahulu yang sebahagian besar masih belum mengakui pemerintahan Samprangan.
Sementara itu pergolakan di Puri Samprangan makin memanas, ditandai dengan pemberian julukan yang tidak pada tempatnya kepada Raja, di mana Dalem Sri Agra Samprangan diberi julukan Dalem Ile (Ile=gila), Dalem Tarukan dinyatakan "rangseng" (=gila karena marah), dan Dalem Ketut dinyatakan sangat suka berjudi, khususnya mengadu ayam.
Julukan tidak pada tempatnya yang diberikan kepada para Raja itu sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu yang senantiasa mengajarkan penghormatan tinggi kepada Pemimpin Pemerintahan. Penghinaan kepada Raja itu jelas fitnah, karena jika benar adanya, pasti Maha Raja Majapahit dan Maha Patih Gajah Mada tidak akan tinggal diam. Tindakan pemecatan atau penggantian Raja pasti dilakukan. Selain itu, jika julukan itu benar, para musuh, yaitu rakyat Bedahulu akan mempunyai peluang yang baik untuk menggulingkan Pemerintahan Samprangan.
Setelah selesai membangun Puri, Dalem Tarukan menikahi seorang Bidadari dari Gunung Lempuyang. Karena belum mempunyai putra, beliau mengajak kemenakannya, yaitu cucu Dalem Wayan, Raja Blambangan, bernama: Kuda Penandang Kajar untuk tinggal bersama-sama di Puri Tarukan.
Kuda Penandang Kajar adalah seorang pemuda yang tampan, gagah, dan mempunyai kekuatan batin yang tinggi, khusus untuk meneliti apakah tanah ada kandungan emasnya atau tidak. Karena itulah Puri Tarukan sangat mewah dan terkesan kaya raya karena dipenuhi ornamen emas murni. Dalem Tarukan sangat menyayangi kemenakannya.
Pemerintahan Samprangan di ambang kehancuran, karena tidak adanya dukungan dari para Menteri dan pembantu Raja. Dalem Wayan merasa perlu memanggil adik beliau yaitu Dalem Ketut untuk diajak kembali tinggal di Puri Samprangan. Maksudnya agar Dalem Ketut turut membantu beliau menyelenggarakan pemerintahan.
Perbekel Kaba-Kaba diutus beliau untuk menjemput Dalem Ketut ke Desa Pandak, tetapi Dalem Ketut menolak karena beliau merasa belum mampu memimpin kerajaan di Samprangan. Jika Samprangan telah dipenuhi oleh para menteri dan pembantu Raja yang tidak setia, apakah beliau akan dapat memimpin dengan baik ?
Sementara Dalem Ketut mencari jalan keluar memecahkan masalah ini, datanglah Kuda Penandang Kajar sebagai utusan Dalem Tarukan memohon Dalem Ketut pulang untuk memimpin Kerajaan Samprangan. Dalem Tarukan sendiri tidak berniat menjadi Raja, karena beliau lebih tertarik kepada profesi kepanditaan. Pesan lain yang disampaikan Kuda Penandang Kajar adalah, jika Dalem Ketut berkenan, beliau dibolehkan menggunakan istana Tarukan.
Walaupun penjemputan kali ini penuh penghormatan dan kemewahan, misalnya dengan kuda tunggangan istimewa bernama I Gagak dan sebuah keris milik Dalem Tarukan yang bernama I Pangenteg Rat, Dalem Ketut tetap menolak permintaan kakaknya itu, sekali lagi dengan alasan belum mampu memimpin atau menjadi Raja.
Kecewa karena tugasnya tidak berhasil, Kuda Penandang Kajar kembali ke Tarukan dengan lesu. Di perjalanan beliau disambar burung gagak hingga destarnya jatuh. Sesampainya di gerbang istana Tarukan, dilihatnya puncak gelung kuri terpenggal. Hanya Kuda Penandang Kajar yang melihat demikian, sementara para pengiringnya tidak melihat puncak gelung kuri itu terpenggal. Pertanda buruk ini terkesan mendalam di hati Kuda Penandang Kajar, sampai-sampai beliau jatuh sakit. Dalem Tarukan prihatin pada sakit yang diderita kemenakannya ini.
Sementara itu tersiar berita yang mengagetkan, bahwa para panglima perang Samprangan merencanakan memerangi Kerajaan Blambangan. Dalem Tarukan tidak setuju dengan rencana itu, mengingat bahwa Dalem Blambangan, yaitu ayah Kuda Penandang Kajar, masih saudara sepupu beliau. Dalem Tarukan berpendapat bahwa rencana itu mempunyai latar lain, mungkin saja gerakan merebut kekuasaan, yaitu bila prajurit dikerahkan ke Blambangan, Dalem Wayan akan mudah digulingkan.
Dalem Tarukan cepat mengambil inisiatif untuk mengikat tali persaudaraan antara Samprangan dengan Blambangan, yaitu dengan menikahkan Kuda Penandang Kajar dengan putri Dalem Wayan, bernama I Dewa Ayu Muter. Dengan ikatan tali persaudaraan itu, perang dapat dicegah. Sakitnya Kuda Penandang Kajar menjadi suatu jalan untuk memohon restu para Dewata. Jika Dewata mengijinkan pernikahan ini, kesembuhan Kuda Penandang Kajar menjadi suatu batu ujian. Pertimbangan lain, Dalem Tarukan melihat bahwa Kuda Penandang Kajar sudah cukup dewasa, dan dari gelagat sehari-hari nampaknya tertarik kepada I Dewa Ayu Muter.
Terucaplah tegur sapa Dalem Tarukan kepada Kuda Penandang Kajar: Duhai anakku, segeralah sembuh; ayah berkeinginan mengawinkan anak dengan I Dewa Ayu Muter. Ternyata permohonan Dalem Tarukan kepada para Dewata terkabul. Kuda Penandang Kajar segera sembuh dan sehat seperti semula. Tentu saja Dalem Tarukan sangat bergembira. Kini beliau merencanakan mewujudkan perkawinan kedua muda-mudi itu.
Untuk meminang tentu saja tidak mungkin, karena posisi Dalem Wayan sangat lemah. Beliau hampir tidak dapat memutuskan sesuatu. Semua keputusan diambil oleh para Menteri. Akhirnya dilaksanakanlah perkawinan secara adat kawin-lari. Awalnya perkawinan itu berjalan lancar, sampai pada malam hari terjadi hal yang merupakan akhir dari keberadaan Puri Tarukan. Kedua mempelai yang sedang berbulan madu di peraduan, tewas berbarengan tertusuk senjata keris. Seorang abdi perempuan pengasuh I Dewa Ayu Muter di Puri Samprangan melaporkan secara tergesa-gesa kepada Dalem Wayan bahwa putri beliau satu-satunya , yaitu I Dewa Ayu Muter, semalam telah tewas di Puri Tarukan terbunuh oleh Ki Tanda Langlang. Dalem Wayan tentu saja sangat terkejut dan segera memanggil para menterinya. Seorang panglima perang menyampaikan ceritra yang lengkap, serta memperkuat keyakinan Dalem Wayan bahwa putri beliau bersama-sama Kuda Penandang Kajar benar telah tewas ditikam Ki Tanda Langlang.
Betapa murkanya Dalem Wayan setelah mendapat penjelasan para Menterinya itu. Segera disuruhlah memukul kentongan dengan suara "bulus" sehingga para prajurit segera berkumpul di halaman istana. Di saat itu Dalem Wayan memerintahkan pasukan Dulang Mangap yang dipimpin Panglimanya Kiyai Parembu, menyerang menghancurkan Puri Tarukan serta menangkap Dalem Tarukan hidup atau mati. Dengan bersorak gegap gempita pasukan itu bergegas menuju Puri Tarukan.
Kini diceritakan Ide Bethara Dalem Tarukan di Puri Tarukan. Betapa sedih dan terkejutnya beliau menyaksikan nasib yang tragis menimpa putra kesayangannya bersama menantunya yang meninggal di kamar pengantin justru pada malam pertama yang seharusnya berkesan sangat bahagia. Beliau sadar bahwa kejadian ini adalah puncak upaya yang sangat keji dari orang-orang yang ingin menguasai kerajaan Samprangan. Beliau ingin menyelesaikan masalah ini melalui pembicaraan dengan kakak beliau, tetapi nampaknya keadaan sudah tidak memungkinkan lagi karena Dalem Wayan sudah termakan fitnah. Terdengar pula berita bahwa pasukan Dulang Mangap sedang menuju Puri Tarukan untuk menangkap beliau dan menghancurkan Puri Tarukan.
Di saat yang berbahaya itu beliau cepat berpikir dan kemudian dikumpulkanlah semua prajurit Tarukan. Beliau meminta agar bila pasukan Dulang Mangap datang, prajurit Tarukan menyerah, tidak melawan, dengan cara membuang senjata dan duduk bersila di tanah dengan posisi kedua tangan memeluk tengkuk (leher bagian belakang). Beliau juga meminta agar permaisuri tetap tinggal di istana dan menyerah kepada Dalem Wayan. Betapa sedih dan pilu hati permaisuri tiada terperikan. Ingin beliau menyertai Dalem Tarukan pergi ke mana saja, tetapi itu tidak mungkin karena beliau sedang hamil besar.
Prajurit Tarukan juga tidak mau menyerah begitu saja. Mereka sangat mencintai Dalem Tarukan dan meminta diijinkan menghadapi pasukan Dulang Mangap sampai habis-habisan (perang puputan). Dalem Tarukan tidak mengijinkan. Beliau mengingatkan bahwa masalah ini adalah masalah pertikaian antar keluarga, yaitu beliau dengan kakak beliau, Dalem Wayan. Beliau tidak ingin karena pertikaian keluarga ini lalu rakyat yang menjadi korban sia-sia. Dengan berat hati beliau juga berpesan kepada permaisuri agar baik-baik menjaga putranya yang masih di kandungan.
Permaisuri tetap berlutut meratapi keputusan Dalem Tarukan. Dalem Tarukan berusaha menenangkan permaisuri dengan mengatakan bahwa kejadian ini sudah kehendak Dewata. Kita sebagai manusia tiada daya menolak kehendak Yang Maha Kuasa. Karena itu pasrahlah; serahkanlah hidup mati kita kepada-Nya. Setelah itu beliau segera berangkat seorang diri ke arah utara.
Pasukan Dulang Mangap di bawah Panglimanya Kiyai Parembu dengan teriakan-teriakan histeris bagaikan serigala haus darah, tiba di Puri Tarukan. Mereka terheran-heran karena melihat semua pasukan dan rakyat Tarukan menyerah total tanpa perlawanan, bahkan duduk bersila dengan pandangan menunduk memandang tanah. Sesuai aturan perang, seorang kesatria tidak akan membunuh pasukan yang sudah menyerah apalagi tanpa senjata.
Mereka masuk ke istana, memeriksa setiap sudut tetapi tidak menjumpai jejak Dalem Tarukan. Mereka hanya menemukan permaisuri beliau yang bersimpuh berurai air mata. Pasukan Dulang Mangap lalu menjarah isi Puri Tarukan dan membakar sampai habis Puri Tarukan. Para tawanan digiring ke Puri Samprangan. Kejadian yang memilukan ini terjadi pada tahun 1377 M atau 1299 isaka.
Kiyai Parembu menghadap Dalem Wayan di Puri Samprangan, dan melaporkan bahwa Dalem Tarukan telah melarikan diri ke arah utara. Segala hasil jarahan Puri Tarukan diserahkan, dan permaisuri Dalem Tarukan ditawan di Puri Samprangan. Dalem Wayan memerintahkan Kiyai Parembu untuk meneruskan pengejaran esok harinya. Kiyai Parembu menyiapkan pasukan bersenjata sebanyak 2000 orang.
Perjalanan Ide Bethara Dalem Tarukan sejak dari Puri Tarukan, secara berurut adalah sebagai berikut:
TARO
Di desa ini beliau tidak lama, hanya lewat saja, kemudian karena dikejar terus oleh pasukan Dulang Mangap, beliau memutar kembali menuju desa:
TAMPUWAGAN
Di suatu tanah persawahan beliau melihat banyak orang sedang menanam padi. Ada seorang petani yang sedang membuang kotoran di sungai, dan bajunya ditinggalkan di tepi sungai. Baju itu lalu diambil oleh Dalem Tarukan, dikenakan, lalu beliau turut serta dengan para petani menanam padi. Seketika datanglah pasukan Dulang Mangap yang mengagetkan para petani.
Kiyai Parembu bertanya, apakah para petani melihat Dalem Tarukan di sekitar situ. Para petani serentak menjawab, tidak melihat siapa-siapa apalagi Dalem Tarukan. Pasukan Dulang Mangap memeriksa sekali lagi dan meneruskan pengejaran ke utara. Beberapa saat kemudian si petani yang selesai membuang kotoran itu bangkit dari sungai, mencari bajunya namun tidak ditemukan.
Dalem Tarukan berdiri sambil membuka penyamarannya. Seketika para petani terkesima karena baru kali itu mereka menatap sosok Dalem Tarukan yang tinggi besar, gagah perkasa, dengan raut wajah yang sangat tampan namun berwibawa. Kulit kehitaman dan rambut berombak yang panjangnya sebatas bahu menambah kewibawaan beliau. Para petani sujud menyembah serta mohon maaf karena tidak mengetahui kehadiran beliau di antara mereka.
Beliau, Dalem Tarukan menjelaskan secara singkat halangan yang menimpa, serta berpesan : "wahai kamu sekalian rakyat Tampuwagan, janganlah lagi kamu me-"cokor I Dewa" terhadapku. Kamu boleh menyapaku dengan "I Ratu, Gusti atau Jero", karena aku akan tetap menyamar agar tidak diketahui keberadaanku di sini sehingga bebas dari pengejaran pasukan kakakku, Dalem Samprangan".
Walaupun tidak rela, para petani itu serempak menyembah beliau dan merasa iba dengan nasib malang yang menimpa junjungan mereka itu. Dari Tampuwagan Dalem Tarukan meneruskan perjalanan ke desa:
PANTUNAN
Para pengejar yang mendapat informasi bahwa Dalem Tarukan ada di Desa Pantunan, segera ke sana. Beberapa saat sebelum kedatangan pasukan Dulang Mangap, Ide Bethara Dalem Tarukan telah diberi tahu oleh para petani di Pantunan. Beliau lalu bersembunyi di bawah pohon Jawa dan semak-semak pohon Jali yang tumbuh subur.
Ada sepasang burung perkutut hinggap di atas pohon Jawa tepat di atas persembunyian beliau seraya berkicau amat merdunya. Ada pula seekor burung puyuh berkeliaran dekat kaki beliau sambil berkicau. Para pengejar sudah berada dekat sekali ke pohon Jawa dan Jali tempat persembunyian beliau. Hampir saja mereka menguakkan semak-semak itu, namun tiba-tiba seorang pengejar mencegah. "Mana mungkin ada orang di situ, lihatlah burung-burung itu bertengger dan berkicau dengan tenang; jika ada manusia mereka sudah pasti terbang menghindar".
Pengejar yang lain membenarkan dan mereka meneruskan perjalanan. Terhindarlah Ide Bethara Dalem Tarukan dari penangkapan. Beliau lalu keluar dari semak-semak. Alangkah besar perlindungan Ide Sanghyang Parama Kawi. Seolah-olah semak-semak dan burung-burung itulah yang diminta oleh-Nya untuk melindungi beliau.
Di saat itulah dengan terharu beliau berterima kasih kepada semak-semak dan burung-burung, sehingga terucaplah janji beliau agar seketurunan beliau tidak membunuh/merusak serta memakan Jawa, Jali, burung perkutut dan burung puyuh. Di malam hari beliau meneruskan perjalanan ke desa:
POH TEGEH
Di desa Poh Tegeh (kini bernama Desa Suter) bermukimlah seorang kesatria bernama I Gusti Ngurah Poh Tegeh. Kesatria ini mempunyai nama/biseka lain yaitu I Gusti Ngurah Poh Landung, atau Kiyai Poh Tegeh, atau Kiyai Poh Landung, keturunan dari Sri Jayakata, Raja Tumapel (Jawa Timur) setelah wafatnya Sri Jayakatong. Datang ke Bali pada tahun 1350 M atau 1272 isaka mengemban tugas mengawal Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan.
Sudah beberapa hari beliau mendengar berita bahwa Dalem Tarukan sedang berselisih dengan Dalem Wayan. Tiba-tiba di keremangan sinar bulan malam itu Kiyai Poh Tegeh terkejut menerima kedatangan Dalem Tarukan. Sang Kiyai segera menyambut dan bertanya meminta ketegasan, kenapa Dalem Tarukan datang mendadak, seorang diri tanpa pengiring.
Dalem Tarukan kemudian menjelaskan duduk persoalan selengkapnya dari awal hingga akhir. Kiyai mendengarkan dengan seksama, kemudian timbullah rasa ibanya. Kiyai memohon agar Dalem Tarukan tidak ke mana-mana lagi. Ia mempunyai suatu tempat yang dinamakan pedukuhan Bunga. Tempat itu dikitari hutan lebat dan jauh dari jalan yang biasa dilalui manusia. Dalem Tarukan menyetujui dan keesokan harinya beliau ke sana diiringi Kiyai Poh Landung.
PEDUKUHAN BUNGA
Di Pedukuhan Bunga beliau disambut oleh Dukuh Bunga yang juga menyediakan pondoknya untuk ditinggali Dalem Tarukan. Dalem Tarukan sangat terharu atas kesetiaan dan keramahtamahan Kiyai Poh Landung dan Dukuh Bunga beserta keluarga dan seluruh rakyatnya.
Keberadaan beliau di pedukuhan dirahasiakan sehingga Dalem Tarukan menetap dalam waktu lama dengan tenang. Di sini beliau memperdalam ilmu kependetaan bersama-sama Dukuh Bunga. Di suatu hari Dalem Tarukan merasa sedih karena mengenang peristiwa hancurnya Puri Tarukan. Beliau belum tahu bagaimana nasib permaisuri yang ketika ditinggalkan sedang hamil tua. Lama beliau termenung. Hal ini diperhatikan oleh Kiyai Poh Landung.
Kiyai turut prihatin dan memikirkan bagaimana cara menghibur Dalem Tarukan. Kiyai menemukan jalan dan merencanakan menghaturkan putrinya yang bernama Ni Gusti Luh Puaji sebagai istri Dalem Tarukan. Beberapa hari kemudian Kiyai mengusulkan rencananya itu kepada Dalem Tarukan. Beliau menerima dengan baik usul Kiyai, dengan pertimbangan perlunya menurunkan "sentana" dan juga menghormati kesetiaan Kiyai Poh Landung. Pertimbangan yang sama pula disampaikan ketika para pengikut setia beliau di kemudian hari masing-masing menghaturkan putri mereka sebagai istri-istri Dalem Tarukan. Secara bertahap berkembanglah keluarga Ide Bethara Dalem Tarukan sebagai berikut :
NAMA MERTUA
NAMA ISTRI
NAMA PUTRA/PUTRI
Gusti Ngurah Poh Landung
Gusti Luh Puaji
Gusti Gede Sekar, Gusti Gede Pulasari
Dukuh Bunga
Jero Sekar
Gusti Gede Bandem
Dukuh Darmaji
Jero Dangin
Gusti Gede Dangin
Jero Mekel Belayu
Jero Belayu
Gusti Gede Belayu
Gusti Gede Bekung
Gusti Luh Balangan
Gusti Gede Balangan, Gusti Luh Wanagiri
Di pedukuhan Bunga beliau sekeluarga hidup aman, tenteram, dan berbahagia. Di waktu-waktu senggang beliau menanam berbagai macam kembang, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran. Dengan kelima istri dan ketujuh putra/putrinya beliau hidup rukun dan damai; bercengkrama, bersenda gurau, bermain-main di hutan dan mandi-mandi di sungai diselingi gelak tawa riang putri, si bungsu Gusti Luh Wanagiri.
Ide Sanghyang Parama Kawi yang maha kuasa, telah mengaruniai beliau putra-putra yang tampan, gagah dengan ciri-ciri khas wibawa kebangsawanan. Tak kalah dengan si mungil, putri beliau satu-satunya, tanda-tanda kecantikan yang masih tersembunyi menunggu saat menyembul di kemudian hari.
Hentikan dulu sejenak cerita di pedukuhan Bunga. Kini diceritakan keadaan Dalem Wayan di Puri Samprangan. Sudah sekian lama Kiyai Parembu mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan dan desa-desa di pegunungan, tiada kabar berita, membuat Dalem Wayan resah. Dalam hati kecilnya beliau menyesal telah mengeluarkan perintah yang demikian kejam namun sebagai seorang Raja tidak mungkin beliau menarik kembali perintah itu.
Kini beliau mengharap semoga adik kandung beliau itu selamat dan untuk bisa selamat selamanya, diperkirakan Dalem Tarukan telah berhasil menyeberang ke Jawa, jika benar maka jalan yang terbaik adalah melalui Desa Kubutambahan di bekas kerajaan Dalem Kesari Marwadewa, yaitu di Pura Penyusuan.
Rasa kesepian karena tiada saudara sekandung, perasaan bersalah yang terus menghantui, serta siasat dari para Menteri yang tiada hentinya, membuat Dalem Wayan tidak bergairah memimpin pemerintahan Kerajaan Samprangan. Perasaan bersalah Dalem Wayan makin menjadi-jadi setelah istri Dalem Tarukan yaitu bidadari dari Lempuyang moksah ketika putra yang dilahirkannya genap berusia 42 hari. Bayi mungil ini dinamai I Dewa Bagus Dharma. Berhari-hari Dalem Wayan di peraduan saja, tidak beda seperti orang yang sedang sakit. Para menteri dan petinggi kerajaan yang ingin menghadap tidak berhasil menemui beliau, sehingga lama kelamaan roda pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Keadaan ini mengkhawatirkan beberapa menteri karena dapat membahayakan kelangsungan berdirinya kerajaan Samprangan, apalagi kaum pemberontak dari kalangan Bali Aga masih terus berusaha menggulingkan kerajaan. Seorang menteri bernama Kiyai Kebon Tubuh mengambil inisiatif berangkat ke desa Pandak (Tabanan) menjemput Dalem Ketut Ngulesir untuk memohon beliau bersedia menjadi Raja.
Kiyai berhasil menemui Dalem Ketut di arena sabungan ayam sedang berwajah lesu karena baru saja kalah bertaruh. Kiyai melaporkan secara singkat keadaan Dalem Wayan di Puri Samprangan dan peristiwa menyedihkan yang terjadi di Puri Tarukan.
Sejenak Dalem Ketut termenung membayangkan betapa tragisnya nasib beliau tiga bersaudara. Kiyai melanjutkan permohonannya agar Dalem Ketut sudi pulang ke Samprangan untuk memimpin kerajaan Bali Dwipa. Walaupun Dalem Ketut sudah lama meninggalkan Samprangan, beliau selalu memantau apa yang terjadi di Puri Samprangan. Permintaan Kiyai Kebon Tubuh itu memang patut dipertimbangkan demi menjaga kelangsungan roda pemerintahan, namun bagaimana nanti dengan kedudukan Dalem Wayan ?
Pemikiran Dalem Ketut itu nampaknya terbaca oleh Kiyai Kebon Tubuh. Segera ia menawarkan agar Dalem Ketut memerintah dari Gelgel, bukan dari Samprangan. Dengan kata lain kerajaan seolah-olah sudah dipindahkan ke Gelgel. Tawaran ini disetujui Dalem Ketut dan segeralah beliau berangkat ke Gelgel (tahun 1380 M atau 1302 isaka).
Dalem Ketut Ngulesir membangun istana di Gelgel di kebun kelapa milik Kiyai Kebon Tubuh. Berita ini didengar oleh Dalem Wayan namun tidak bereaksi karena beliau sudah kehilangan gairah hidup. Para menteri dan pembantu Raja di Samprangan banyak yang berpindah ke Gelgel atas kemauan sendiri karena merasa lebih senang mengabdi kepada Dalem Ketut. Roda pemerintahan diatur dari Gelgel yang telah berganti nama menjadi Suwecapura. Para Manca yang tinggal di pedesaan dan pegunungan mendengar berita ini lalu datang menyatakan dukungan dan kesetiaan kepada Dalem Ketut.
Sementara itu Dalem Wayan makin parah sakitnya dan akhirnya beliau moksah pada tahun 1383 M atau 1305 isaka. Setelah Dalem Wayan moksah barulah Dalem Ketut menyelenggarakan upacara penobatan Raja (biseka Ratu) dengan gelar Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan. Segera setelah Dalem Ketut resmi menjadi Raja, beliau teringat pada kakak beliau, Dalem Tarukan. Diutuslah Kiyai Kebon Tubuh ke pedukuhan Bunga untuk meminta Dalem Tarukan kembali ke Tarukan atau ke Suwecapura.
Permintaan ini ditolak beliau karena beberapa pertimbangan antara lain: jika kembali ke Tarukan, istana ini sudah hancur dan akan mengingatkan kenangan pahit yang dialami beberapa tahun lampau. Istri beliau yang dicintai, yaitu bidadari Lempuyang-pun (dijuluki : Dedari Kuning) telah moksah. Jika ke Suwecapura, walaupun adik beliau Dalem Ketut mau menerima, belum tentu para menteri dan petinggi kerajaan lain mau juga menerima dengan baik; sementara itu beliau sudah berbahagia di pedukuhan Bunga.
Kiyai Kebon Tubuh kembali ke Suwecapura dan melaporkan penolakan Dalem Tarukan tersebut. Dalem Ketut kecewa karena maksud baik beliau tidak ditanggapi oleh Dalem Tarukan, namun beliau dapat memahami pemikiran kakak beliau itu. Dalem Tarukan yang menduga bahwa para menteri di Suwecapura dan para pengejar dari Samprangan telah mengetahui tempat persembunyian beliau, lalu memutuskan untuk meninggalkan pedukuhan Bunga. Berangkatlah rombongan keluarga besar itu diiringi oleh Dukuh Darmaji dan beberapa rakyatnya menuju desa:
SEKAHAN
Hanya semalam beliau ada di desa Sekahan, kemudian meneruskan perjalanan ke desa:
SEKARDADI
Di sini beliau beserta rombongan bermalam di pondok kerabat Jero Dukuh Darmaji selama tiga malam, kemudian meneruskan perjalanan ke desa:
KINTAMANI
Hanya lewat saja, lalu terus menuju desa:
PANARAJON
Di sini rombongan beliau dihembus angin topan sehingga sebelas pengiring beliau meninggal dunia. Setelah topan reda, rombongan meneruskan perjalanan ke desa:
BALINGKANG
Merasa aman, di sini beliau tinggal selama tiga bulan; setelah itu rombongan menuju desa:
SUKAWANA
Dalam perjalanan yang melelahkan ini putri beliau yang berusia 4 tahun, Gusti Luh Wanagiri menangis karena lapar. Dalem Tarukan lalu bertanya kepada Dukuh Darmaji apakah membawa makanan. Dukuh menjawab, tidak membawa makanan, hanya beberapa genggam beras. Dalem Tarukan lalu tergesa-gesa memberikan beras itu kepada putrinya, karena tidak sempat lagi memasaknya. Beberapa saat kemudian putrinya sakit perut karena memakan beras mentah dan akhirnya tidak tertolong.
Putri yang dicintainya meninggal dunia. Betapa sedih beliau dan terucaplah kata-kata beliau: "Ya, Tuhan betapa besar cobaan yang kami terima, sangat besarlah penyesalan kami karena seolah-olah memberi jalan kematian putriku. Nah agar hal ini tidak terulang lagi, wahai semua putra dan semua keturunanku, kelak di kemudian hari janganlah sekali-kali kalian memakan beras mentah"
Setelah itu Dalem Tarukan lalu meminta Ki Pasek Sikawan mengubur jenazah putrinya. Karena letak desa Sukawana di sebelah timur bukit Penulisan, maka agar prabu layon berada di "hulu" dikuburlah jenazah putrinya dengan kepala di arah barat. Di saat ini terucaplah bisama beliau agar seketurunan beliau bila meninggal atau di-aben agar kepala berada di arah barat, sebagai tanda ingat akan peristiwa menyedihkan ini. Dari Sukawana beliau menuju ke desa:
SIKAWAN
Di desa ini beliau ditemui oleh Ki Pasek Ban dan Ki Pasek Jatituhu. Beliau sempat beristirahat selama tiga bulan, selanjutnya menuju desa:
PENEK
Tidak menetap, hanya memintas saja, lalu terus ke desa:
BAN (EBAN)
Juga tidak menetap, terus ke desa:
TEMANGKUNG
Tidak menetap, terus ke desa:
CARUCUT
Perjalanan menelusuri pantai; tiba di suatu tempat yang indah beliau berhenti sejenak. Sudah sekian jauh beliau berjalan baru di situlah merasa lega dan firasat beliau mengatakan bahwa tempat ini aman dari kejaran pasukan Dulang Mangap. Beliau lalu membicarakan rencana untuk menetap di situ. Semua pengikut beliau: Dukuh Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Temangkung, dan Ki Pasek Sukawana setuju.
Di situlah beliau membuka perkebunan kelapa dan tanaman palawija, dibantu oleh ratusan rakyat pegunungan yang setia kepada Dalem Tarukan. Lama-kelamaan makin banyak rakyat dan pemekel dari pulau Bali pesisir utara yang berdatangan menghaturkan sembah sujud kehadapan beliau dan tetap menjunjung beliau sebagai Dalem. Dalem Tarukan lalu bersabda: "kamu semua rakyat pegunungan dan pesisir, aku menerima penghormatan dan kesetiaanmu, tetapi janganlah kamu me-"cokor I Dewa" kepadaku, karena kini aku bukanlah seorang Dalem lagi"
Walaupun demikian, rakyat tetap saja menghormati beliau dengan hatur: "cokor I Dewa" karena tak seorang pun berani mengubah kebiasaan sebutan. Terkenallah beliau sampai ke perbatasan di arah barat: Desa Tejakula, di arah selatan: Desa Poh Tegeh, di arah Timur: Desa Ban, (arah utara : Laut Bali).
Berkat asung kerta nugraha Ide Sanghyang Parama Kawi, hasil perkebunan beliau melimpah, sehingga lama kelamaan keluarga dan pengiring beliau kaya raya dan selalu bersuka ria. Maka tempat itu dinamakan Sukadana.
SUKADANA
Ide Bethara Dalem Tarukan sekeluarga beserta para pengiringnya menikmati kebahagiaan hidup di Sukadana. Namun di suatu saat beliau terkenang akan putri beliau, yaitu Gusti Luh Wanagiri yang meninggal dan dikuburkan di Sukawana. Atas usul para pengikutnya yaitu Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temakung, Ki Pasek Sikawan, Dukuh Bunga, Dukuh Jatituhu, dan Dukuh Pantunan, dilaksanakanlah pelebon putri beliau secara megah dan besar-besaran.
Lokasi upacara dipilih di Bukit Mangun; pada saat pembakaran, prabu layon mengarah ke barat. Pemuput upacara adalah: Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, dan Dukuh Jatituhu. Abu jenazah dipendem di Bukit Mangun. Selesai upacara pelebon, mereka kembali pulang ke Sukadana. Beberapa lama kemudian para pengiring beliau menyarankan agar rombongan kembali ke desa Poh Tegeh, karena desa itu lebih layak dijadikan tempat menetap.
POH TEGEH
Betapa gembiranya I Gusti Ngurah Poh Tegeh menyambut kedatangan Ide Bethara Dalem Tarukan setelah sekian lama berpisah. Rombongan besar itu dijamu secara meriah. Tiba-tiba timbul keinginan Ide Bethara Dalem Tarukan untuk meneruskan perjalanan ke selatan karena seperti ada firasat bahwa kemungkinan putra beliau yang beribu dedari Lempuyang masih hidup dan kini berada entah di mana.
Hal itu disampaikan kepada Kiyai Poh Tegeh. Mula-mula Kiyai mencegah rencana beliau itu; namun melihat beliau sangat bersemangat, Kiyai mendukung serta memohon agar Dalem Tarukan sangat berhati-hati di perjalanan. Beberapa hari kemudian rombongan beliau berangkat menuju desa:
SIDAPARNA
Di desa ini beliau bertemu dengan beberapa penduduk yang memberikan informasi bahwa Dalem Ketut yang menggantikan Dalem Wayan, memerintah di Gelgel secara bijaksana dan semuanya berjalan sangat baik. Dalem Ketut tidak pernah lagi menanyakan keberadaan Dalem Tarukan. Demikian pula para prajurit Samprangan yang dahulu mengejar Dalem Tarukan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Dalem Tarukan meneruskan perjalanan ke:
GUNUNG PENIDA
Di suatu dataran tinggi Dalem Tarukan berhenti. Tempat itu sangat indah karena diapit oleh dua buah sungai yang sangat jernih airnya. Dikelilingi oleh hutan yang penuh dengan aneka satwa, ada tanah datar yang luas, cocok untuk persawahan. Lama beliau termenung menikmati keindahan pemandangan alami itu. Beliau berpikir, inilah tempat yang sangat sesuai untuk tempat menetap. Jika meneruskan perjalanan, belum juga tentu ke mana arahnya; di samping itu anggota rombongan beliau sudah lelah tinggal berpindah-pindah.
Akhirnya beliau memutuskan menetap di daerah itu. Di sini beliau membangun pondok-pondok, membuka sawah-ladang, serta menanam padi, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan berbagai macam bunga. Tempat itu oleh penduduk dinamakan Pulasari atau Pulasantun.
Kemudian Ide Bethara Dalem Tarukan menekuni Dharma Kepanditaan yang menjadi keinginan beliau sejak berada di Tarukan. Keinginan ini seperti mendarah daging karena leluhur beliau di Majapahit adalah Brahmana, abiseka Danghyang Kepakisan. Kegiatan kepanditaan di Pulasari berkembang pesat karena didukung oleh para Dukuh sekitarnya, misalnya Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Darmaji, dan lain-lain. Di sela-sela waktu pemujaan, Ide Bethara Dalem Tarukan tetap bekerja di kebun atau di sawah sebagai selingan dan kesenangan.
Hentikan dulu sejenak, kini diceritakan keadaan putra Ide Bethara Dalem Tarukan bernama Dewa Bagus Dharma yang tinggal di Puri Samprangan. Sejak berusia 42 hari beliau ditinggal ibunda, moksah ke kahyangan. Di saat membutuhkan air susu, datanglah seekor manjangan putih menyusui beliau dan kemudian menghilang setelah sang bayi tertidur lelap. Keadaan ini mengherankan seisi Puri, sehingga yakinlah mereka bahwa sang bayi benar-benar putra seorang bidadari kahyangan. Ada seorang emban (pembantu) yang sangat setia merawat sang bayi.
Setelah meningkat usia remaja, Dewa Bagus Dharma bertanya kepada si-emban, siapa ayah dan ibu beliau. Si-emban dengan berlinang air mata menceritakan riwayat Ide Bethara Dalem Tarukan. Sejenak beliau tercenung lalu berucap bahwa ingin menemui ayahanda beliau. Si-emban dengan berbisik memberitahu: "pergilah I Dewa ke arah pegunungan di utara; jika bertemu seorang laki-laki tegap, tampan, tinggi, berkulit hitam, rambut panjang berombak, tanpa baju, berkain hitam dengan saput poleng tanpa ujung (seperti kain sarung), itulah ayahanda I Dewa".
Tidak menunggu waktu lagi, Dewa Bagus Dharma segera mengambil keris, lalu berangkat ke arah utara. Tekad beliau sudah mantap; kerinduan bertahun-tahun, haus kasih sayang, dan "jengah" mendorong beliau segera ingin bertemu dan tinggal bersama ayahanda baik dalam keadaan suka maupun duka. Berhari-hari beliau berjalan sambil memperhatikan orang-orang yang ditemuinya. Tidak satu pun mirip dengan apa yang diceritakan si-emban. Beliau tidak bertanya kepada siapa pun, karena perjalanan ini dirahasiakan.
Suatu siang yang panas, tibalah Dewa Bagus Dharma di suatu persawahan yang luas. Hanya ada satu orang di situ sedang asyik membajak sawah. Beliau duduk dan kaget melihat orang itu sesuai benar dengan ciri-ciri yang dikatakan si-emban. Hanya saja orang ini petani; ayahanda yang dicari adalah seorang Raja. Tidak mungkin seorang Raja membajak sawah. Sedang berpikir-pikir demikian, tiba-tiba sapi si-"petani" panik lalu lari tunggang langgang. Peralatan bajak yang ditariknya patah tidak karuan karena sapi-sapi itu mengamuk ingin melepaskan diri.
Si "petani" heran, kenapa sapinya tiba-tiba menjadi liar tak terkendali. Pasti ada sesuatu sebab yang membuat sapinya ketakutan, misalnya harimau. Namun tidak ada harimau di sekitar itu. Yang ada hanya seorang lelaki remaja dengan sorot mata polos memandang kegaduhan sapi itu. Si-"petani" yang tiada lain Ide Bethara Dalem Tarukan, menjadi marah karena mengetahui penyebab sapinya liar adalah silaki-laki itu. Beliau mendekati remaja itu lalu menghardik: "eh, apa kerjamu di sini, mengganggu saya serta mengacaukan sapi-sapi saya"
Sang remaja yang disapa dengan keras itu juga marah, sehingga timbul percekcokan. Kemarahan makin menjadi-jadi akhirnya sama-sama menghunus keris berkelahi dengan sengit, saling pukul, saling tikam, saling cekik, saling tindih, berjam-jam lamanya tidak ada yang terluka, sampai kehabisan tenaga, sama-sama duduk bersebelahan. Dalem Tarukan heran karena remaja ini kebal tubuhnya, ditikam tidak tergores apalagi luka. Beliau lalu bertanya: "hai anak muda, siapa sebenarnya anda, dari mana, mau ke mana dan apa kerjamu di tengah hutan ini seorang diri" Dewa Bagus Dharma lalu menjawab: "saya bernama Dewa Bagus Dharma, dari Puri Samprangan, tiba di hutan ini hendak mencari ayah saya bernama Ide Dalem Tarukan, yang menurut informasi tinggal di sekitar daerah ini"
Mendengar itu, Ide Bethara Dalem Tarukan terkejut bagaikan disambar petir. Dipandangnya wajah pemuda itu; ya Tuhan, Sanghyang Parama Kawi, wajahnya bagaikan pinang dibelah dua dengan anakku I Sekar. Beliau tak kuasa membendung air mata haru; dipeluknya pemuda itu seraya mengusap kepalanya: "anakku Dewa Bagus Dharma, Ide Sanghyang Parama Kawi maha agung dan maha pemurah, hari ini aku dipertemukan dengan anak kandungku yang bertahun-tahun aku rindukan; nanak, ini ayahmu yang kamu cari itu"
Sampai di situ Ide Bethara Dalem Tarukan tidak lagi berkata-kata; rongga dada beliau sudah penuh sesak dengan keharuan tiada tara. Tak berbeda dengan Dewa Bagus Dharma, tak kuasa beliau mengucapkan kata-kata; hanya perkataan: "aji, aji, aji" seraya mengeratkan pelukannya sambil bersimbah air mata.
Lama kedua insan itu saling melepas kerinduan dan kehangatan ayah-anak sambil menceritakan riwayat masing-masing. Beberapa saat kemudian datanglah putra-putra Ide Bethara Dalem Tarukan, yaitu Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari bermaksud menjemput ayahanda beliau pulang ke pedukuhan. Ide Bethara Dalem Tarukan dengan gembira mempertemukan ketiga saudara kandung buah hatinya itu. Mereka lalu pulang ke pedukuhan Pulasari dengan suka cita.
Gemparlah pedukuhan Pulasari atas kedatangan penghuni baru yang tampan seperti kembarannya Gusti Gede Sekar, namun usianya sedikit lebih dewasa. Malam hari pertemuan itu dirayakan dengan meriah, makan, minum, menari, dan menyanyi. Ketujuh bersaudara lelaki, putra-putra Ide Bethara Dalem Tarukan asyik berbincang sampai larut malam. Akhirnya kantuk membawa mereka ke alam mimpi yang indah. Dewa Bagus Dharma sudah sejak awal memutuskan tinggal menetap bersama-sama ayah, para ibu dan saudara-saudaranya di Pulasari.
Kini dilanjutkan dahulu kisah tentang Kiyai Parembu. Kiyai dengan gigih mentaati perintah Dalem Wayan mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan pegunungan sebelah utara. Disertai putranya bernama Kiyai Wayahan Kutawaringin, pasukan Dulang Mangap menyelusup menyelidiki dan mencari persembunyian Dalem Tarukan, namun tidak pernah berhasil. Kadangkala ada yang memberikan informasi lokasi persembunyian beliau, tetapi ternyata informasinya menyesatkan.
Arah pencarian Kiyai menuju gunung Tulukbiyu, lalu bertemu dengan Jero Dukuh Sekar. Ketika ditanya, Jero Dukuh berlaku pikun serta memberi jawaban sekenanya. Dengan perasaan kesal dan putus asa Kiyai meneruskan pencariannya tanpa arah yang jelas. Tiba di suatu tempat Kiyai duduk di bawah pohon tua yang rindang. Perasaan Kiyai tidak menentu: kesal, malu, merasa tak berharga karena tidak dapat menunaikan tugas, walaupun sudah diupayakan dengan sekuat tenaga.
Pasukan Dulang Mangap terpecah dua; sebagian besar sudah kembali ke Gelgel karena mendengar Dalem Ketut sudah bertahta di Gelgel. Kini pasukannya bersisa empat puluh orang. Hanya itulah yang masih setia mengikuti, namun sudah ada tanda-tanda mereka jemu dan kepayahan. Kiyai merenung dan timbul pikirannya yang terang. Ditanyailah dirinya sendiri, apa sebenarnya manfaat tugas yang diembannya bagi kerajaan. Bukankah perintah Dalem Wayan hanya sebuah perintah emosional yang menuruti kemarahan sesaat ? Di samping itu berita yang didengar, seolah-olah Dalem Wayan sudah digeser kedudukannya oleh Dalem Ketut. Lalu untuk siapa kini ia mengabdi ? Tetapi jika melalaikan tugas bukankah ia sudah banyak berhutang budi kepada Dalem Wayan ? Kebingungan pikiran Kiyai rupanya diketahui oleh putra dan para pengikutnya.
Seorang pembantunya memberanikan diri menyampaikan pendapat sebagai berikut : "ya, paduka Gusti, hamba mengerti bahwa hati tuan kecewa karena tidak berhasil mencari Dalem Tarukan. Namun jika tuan berkenan, hamba menghaturkan pendapat bahwa Ida Sanghyang Widhi Wasa telah melindungi Ide Bethara Dalem Tarukan sehingga beliau terhindar dari mara bahaya. Hidup dan mati semuanya ada di tangan-Nya; jika belum diperkenankan, apapun upaya manusia untuk membunuh sesama manusia tidak akan terlaksana. Oleh karena itu janganlah paduka menyesali diri terlampau berkepanjangan. Sebaiknya putuskanlah apa yang akan kita lakukan sekarang"
Mendengar ucapan pembantunya demikian, mantaplah hati Kiyai Parembu; segera ia bangkit berdiri seraya berkata: "Hai kamu sekalian, memang benar seperti apa yang dikatakan temanmu ini; tidak ada yang dapat melawan kehendak Ide Sanghyang Widhi, hanya Beliau yang kuasa mengatur soal hidup atau mati. Perasaan kita saat ini sama, yaitu rasa malu yang menusuk hati karena tidak dapat menyelesaikan tugas. Karenanya aku telah memutuskan tidak kembali ke Gelgel. Kita menetap di sini saja membuka lembaran sejarah baru; siapa yang setuju boleh mengikuti saya; yang tidak setuju silahkan kembali ke Gelgel" Para pengikutnya serempak menjawab setuju. Tidak seorangpun berniat kembali ke Gelgel. Dengan riang gembira mereka bersama-sama membangun pedesaan kecil, membuka sawah ladang dan hidup sebagai petani. Desa itu dinamakan Bugbug Tegeh.
Adanya desa baru cepat tersiar ke desa-desa sekitarnya. Kiyai Poh Tegeh lalu mengirim utusan mengundang Kiyai Parembu. Kiyai Parembu merasa khawatir, karena tahu bahwa Kiyai Poh Tegeh memihak Dalem Tarukan. Semalam suntuk Kiyai Parembu berunding dengan putranya, Kiyai Wayahan Kutawaringin apakah akan memenuhi undangan itu atau menolak. Hingga larut malam belum ada keputusan, sampai keduanya tertidur kelelahan. Kiyai Wayahan Kutawaringin bermimpi ditemui seorang bidadari yang cantik jelita, bahkan bercengkrama mesra di sebuah taman yang indah.
Keesokan hari mimpi itu diceritakannya kepada sang ayah. "Wah itu pertanda baik, mari kita segera berangkat ke Poh Tegeh" Menjelang sore mereka berdua tiba di Poh Tegeh, disambut dengan ramah oleh seorang gadis cantik yang kebetulan melintas di depan pemedal. Bagaikan dipukul palu godam detak jantung Kiyai Wayahan Waringin memandang kecantikan gadis itu. Bagaimana mungkin, bidadari yang diimpikan semalam berwujud persis dia.
Sedang terkesima demikian tiba-tiba tegur sapa Kiyai Poh Tegeh menyadarkan Kiyai Wayahan Kutawaringin. "Adinda Kiyai Parembu, betapa bahagianya kakanda hari ini karena dinda bersedia memenuhi undangan" Kiyai Parembu menjawab : "ya kakanda, maafkanlah dinda karena baru kali ini dapat berjumpa; dinda merasa seperti manusia yang tidak berharga dan tak berguna sehingga kelahiran dinda sia-sia belaka. Dinda tidak dapat mengemban tugas sebagai seorang kesatria sejati. Seharusnya dinda bunuh diri saja karena tiada tahan menanggung malu"
Wajah Kiyai Parembu sedih memelas; cepat Kiyai Poh Tegeh menjawab: "dinda, Kiyai Parembu, tidak seorang pun akan menyalahkan serta merendahkan dinda, karena Ide Bethara Dalem Tarukan dilindungi Sanghyang Widhi. Sadarlah dinda, beliau berdua kakak beradik bertikai karena diadu domba oleh pihak lain. Janganlah dinda turut memihak dalam pertikaian itu karena tidak direstui Yang Maha Kuasa. Sebagai seorang kesatria, ingatlah selalu riwayat leluhur kita yaitu Sri Jayakata dan Sri Jayawaringin ketika dilarikan ke Tumapel setelah gugurnya Sri Jayakatong. Bukankah leluhur Ide Bethara Sri Kresna Kepakisan yang menyelamatkan leluhur kita ? Dan kedatangan leluhur kita ke Bali-pun mengiringi Dalem Sri Kresna Kepakisan.
Jadi kita harus tetap berbakti kepada sentanan Dalem Sri Kresna Kepakisan, dalam hal ini baik Dalem Wayan maupun Dalem Tarukan sama-sama kita hormati. Kini keadaan berubah; Dalem Ketut sudah memimpin kerajaan. Oleh karena itu untuk apa dinda masih terus memburu Dalem Tarukan ? Keputusan dinda untuk menetap di Bugbug Tegeh kanda hargai sebagai suatu keputusan yang bijaksana"
Mendengar wejangan Kiyai Poh Tegeh seperti itu legalah perasaan Kiyai Parembu. Mereka lalu bersantap malam dan berbincang-bincang dengan gembira sampai larut malam. Tiba waktunya tidur, Kiyai Parembu bersama putranya disilahkan menempati ruangan yang telah disediakan. Sekali lagi Kiyai Wayahan Kutawaringin bertemu pandang dengan gadis yang sore tadi. Goyah rasanya lutut beliau karena tak kuasa menahan dentuman api asmara yang melesat dari kerlingan si gadis.
Kiyai Poh Tegeh segera mengenalkan gadis itu kepada Kiyai Wayahan Kutawaringin seraya berkata : "nanak Winihayu Luh Toya, ini masih saudara sepupumu bernama Kiyai Wayahan Kutawaringin. Ini ayahnya bernama Kiyai Parembu" Si gadis mengangguk manja terus menghilang di balik pintu. Malam itu Kiyai Wayahan tidur gelisah sampai ayam berkokok menjagakannya. Setelah berpamitan berangkatlah kedua si ayah dan anak itu pulang ke Bugbug Tegeh. Di perjalanan, Kiyai Wayahan tiada henti-hentinya berbisik di hati: "dinda Winihayu apakah dinda merasakan apa yang terpendam di hatiku" Hingga beberapa hari setibanya di Bugbug Tegeh, Kiyai Wayahan terus saja terkenang pada Winihayu. Hal ini diketahui oleh ayahnya.
Singkat cerita lama kelamaan diketahui bahwa Winihayu sama-sama jatuh cinta juga kepada Kiyai Wayahan. Kedua orang tua-tua lalu berunding, akhirnya terjadilah pernikahan Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan Winihayu Luh Toya. Dari perkawinan ini lahir dua orang putra, yaitu: Kiyai Panida Waringin, meninggal dunia pada usia muda, dan Kiyai Tabehan Waringin yang kelak di kemudian hari melanjutkan keturunan warga Arya Kutawaringin. Pernikahan antara Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan Winihayu Luh Toya menyebabkan Kiyai Wayahan ber-ipar dengan Dalem Tarukan, karena sama-sama menikahi putri-putri Kiyai Poh Tegeh.
Karena hubungan kekeluargaan inilah menambah "kemalasan" Kiyai Parembu untuk mengejar Dalem Tarukan. Patutlah dipuji strategi Kiyai Poh Tegeh yang selalu berupaya menyelamatkan Dalem Tarukan.
Kembali diceritakan keadaan beliau, Ide Bethara Dalem Tarukan di desa Pulasari. Tidak ada lagi pasukan yang mengejar-ngejar beliau, sehingga kehidupan beliau aman tentram. Beliau meningkatkan ilmu kepanditaan, sampai akhirnya mampu menjadi nabe bagi para dukuh yang setia mengikuti beliau, yaitu: Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Jatituhu, Dukuh Darmaji, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Penek, dan Ki Pasek Sikawan.
Kepada para putranya beliau memberikan bisama sebagai berikut: "Putra-putraku, dengarkanlah bisama yang aku berikan kepadamu dan segenap keturunanmu kelak di kemudian hari: Jika kamu meninggal dunia dan diupacarai ngaben (pelebon), dibenarkan kalian menggunakan busana sesuai dengan tata-cara sebagai seorang Raja beserta dengan segala upacaranya, paling kecil menggunakan pemereman berupa padma terawang, atau bade bertumpang tujuh, menggunakan banusa dengan galar dari bambu kuning, tumpang salu dari bambu kuning, ma-ulon, ma-jempana, kajang Pulasari, daun pisang kaikik, bale gumi berundak tujuh, bale silunglung, damar kurung, serta upacara ngaskara selengkapnya.
Selain itu janganlah menerima panggilan "cai", tetapi terimalah panggilan : Jero, Gusti dan Ratu. Bisama ini aku berikan kepadamu karena kamu adalah keturunanku, keturunan Dalem" Pemberian bisama itu disaksikan oleh para Dukuh dan para Pasek yang disebutkan di atas. Mereka menyatakan akan selalu mentaati dan menjaga terlaksananya bisama itu. Tiada berapa lama setelah memberikan bisama, Ide Bethara Dalem Tarukan sakit selama tiga bulan lalu meninggal dunia pada hari Kamis Kliwon, wara Ukir, panglong ping pitu, sasih kedasa, isaka 1321 atau bila dengan kalender Masehi, pada hari Kamis, bulan April tahun 1399 M. Jika diperkirakan beliau lahir pada tahun 1352 M (dua tahun setelah ayahanda : Dalem Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja Samprangan) maka Ide Bethara Dalem Tarukan meninggal dunia pada usia 47 tahun.
Upacara pelebon Ide Bethara Dalem Tarukan dilaksanakan di setra Tampuwagan pada hari Sabtu, Pahing, wuku Warigadean, panglong ping pitu, sasih Jiyesta, rah tunggal, tenggek kalih, isaka 1321, atau bila dengan kalender Masehi, pada hari Sabtu, bulan Juni tahun 1399 M. Manggala dan pemuput karya upacara pelebon adalah : Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Jatituhu, Kiyai Poh Tegeh, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temangkung, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Jatituhu, dan I Gusti Ngurah Kubakal.
Tata laksana pelebon sebagai Raja, yaitu: pemereman bade tumpang pitu, petulangan lembu nandaka ireng ditempatkan dengan kepala di arah Barat, tirta pemuput dari Besakih, sulut pembakaran memakai keloping nyuh gading, kayu bakar memakai kayu cendana. Setelah itu abu tulang dihanyutkan di sungai Congkang. Sebulan kemudian diadakan upacara meligia di mana abu "sekah" dipendem di cungkup sebuah Pura yang dibangun sebagai Pedarman Ide Bethara Dalem Tarukan. Berhubung sudah disucikan sebagai Bethara Raja Dewata, maka sejak saat meligia itu beliau amari aran (berganti gelar) menjadi : Ide Bethara Dalem Tampuwagan Mutering Jagat.
Selama berlangsungnya upacara pelebon dan meligia, tiada henti-hentinya seluruh rakyat pegunungan mulai dari perbatasan barat: Bondalem (Buleleng), perbatasan timur: Tianyar (Karangasem), perbatasan selatan: Pantunan (Bangli) menghaturkan uang kepeng bolong dan bahan-bahan "lebeng-matah" sebagai tanda bakti, setia, hormat, dan duka cita karena ditinggalkan junjungan mereka. Aturan berupa makanan langsung disantap oleh para putra, para Ibu, keluarga, serta semua yang hadir. Karena terlalu banyak sampai tidak habis dimakan, dibiarkan membusuk sehingga menimbulkan bau tidak sedap.
Setelah semua rangkaian upacara selesai, bau busuk dari sisa-sia makanan, beras, uang kepeng bolong dan lain-lain makin menjadi-jadi, tidak tahan menciumnya. Para putra lalu memerintahkan rakyatnya membuang ke sungai, sampai air sungai itu berubah seperti bubur. Uang kepeng bolong yang dihanyutkan menyangkut menutupi sumber mata air sungai. Rakyat yang tinggal di hilir terheran-heran melihat air sungai berubah seperti bubur; banyak yang mengambil nasi, tumpeng, beras itu untuk diberi makan anjing atau babi.
Di sungai lainnya rakyat menemukan uang kepeng bolong yang sudah bergumpal-gumpal berkarat tidak bisa digunakan lagi. Ide Bethara di sorga loka melihat dengan sedih kejadian itu. Turunlah kutukan beliau sebagai berikut: "Wahai para putraku, kalian telah menyia-nyiakan anugerah dewata; maka kini terimalah kutukanku, mudah-mudahan kalian seketurunan tidak akan menjadi kaya atau berkecukupan. Bila ada yang bisa kaya, umurnya pendek lalu kematian menjemput sehingga keturunannya menjadi miskin kembali" Para putra yang mendengar kutukan itu kebingungan dan menyesali perbuatannya, namun apa hendak dikata karena itulah kehendak Ide Sanghyang Widhi Wasa. Dengan perasaan tak menentu para putra kembali ke pedukuhan Pulasari memulai hidup baru.
Aliran sungai yang berlimpah bubur dan uang kepeng bolong itu menuju ke Kerajaan Suwecapura. Rakyat gempar berhari-hari, lalu menamakan kedua sungai itu masing-masing : Tukad Bubuh dan Tukad Jinah. Berita ini sampai ke istana Dalem Ketut (Dalem Sri Semara Kepakisan). Tahulah beliau bahwa kakak beliau telah meninggal dunia dan di-pelebon di pegunungan. Sedih hati beliau mengenang nasib Ide Bethara Raja Dewata yang sebahagian besar hidupnya dihabiskan di pengungsian. Beliau Dalem Ketut ingin memelihara putra-putra Ide Bethara Raja Dewata yang jelas masih kemenakannya sendiri.
Keesokan harinya dipanggillah Kiyai Kebon Tubuh lalu ditugaskan menjemput para kemenakan beliau itu ke hutan-hutan di pegunungan untuk diajak ke Gelgel. Disertai pengikut 50 orang, berangkatlah Kiyai Kebon Tubuh menuju utara. Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, sampailah Kiyai di pedukuhan Pulasari. Kiyai berdatang sembah kepada para putra: "Mohon ampun, paduka para putra Dalem, hamba diutus oleh Paman paduka, Sri Aji Semara Kepakisan untuk menjemput paduka sekalian diajak pulang ke istana Suwecapura"
Para putra yang dipimpin oleh putra tertua : Dewa Bagus Dharma ragu-ragu pada kebenaran maksud baik dari ucapan sang Kiyai. Bertahun-tahun para putra menghadapi kenyataan bahwa ayahanda beliau dimusuhi oleh saudara sekandung beserta menteri dan rakyat kerajaan, kini tiba-tiba ada utusan yang bernada membujuk menjanjikan kebaikan budi. Bukankah ini suatu perangkap untuk mencelakakan para putra sehingga jika dapat, agar musnahlah keturunan Ide Bethara Raja Dewata.
Berpikir demikian, Dewa Bagus Dharma kemudian menolak permintaan sang Kiyai seraya menyatakan bahwa beliau beserta adik-adik tidak akan meninggalkan pedukuhan Pulasari. Kiyai Kebon Tubuh tidak berhasil membujuk para putra, lalu kembali ke istana Suwecapura. Betapa duka hati Dalem Ketut mendengar laporan Kiyai Kebon Tubuh; dimintanya Kiayi mengulangi kunjungan ke Pulasari membujuk para putra agar mau pulang ke Suwecapura.
Walaupun sampai tiga kali utusan ini pulang balik, para putra tetap tidak mau datang ke Suwecapura. Ini menimbulkan kemarahan Dalem Ketut, sehingga keluarlah perintah beliau untuk menangkap para kemenakan beliau dibawa paksa pulang ke Suwecapura. Kiyai Kebon Tubuh lalu mengerahkan prajurit dalam jumlah besar dengan persenjataan lengkap. Tidak kurang dari 2000 prajurit dibawa serta, namun bukan dari pasukan Dulang Mangap.
Sementara itu pihak para putra yang dipimpin oleh Dewa Bagus Dharma telah mengetahui gerakan musuh yang menjalar bagaikan ular besar dari arah selatan. Kakek beliau, I Gusti Poh Tegeh bersama kerabatnya yaitu I Gusti Ngurah Kubakal mempersiapkan pertahanan rakyat di desa Pesaban, Tembuku, dan Timuhun. Perang besar yang tidak seimbang berkecamuk dengan dahsyat, membawa korban banyak di pihak pasukan I Gusti Poh Tegeh. Dapat dimaklumi karena pasukan ini bukan prajurit terlatih, hanya bermodalkan semangat dan kesetiaan yang tinggi kepada ratunya. Mayat-mayat yang jatuh ke sungai hanyut ke hilir akhirnya sampai ke perbatasan kota Gelgel.
Dalem Ketut mendengar berita banyaknya korban rakyat biasa dalam peperangan di pegunungan. Beliau lalu memerintahkan menghentikan peperangan dan menarik pasukan Kiyai Kebon Tubuh kembali ke Gelgel. Dalem Ketut menulis surat kepada I Gusti Poh Tegeh dibawa oleh utusan beliau, sekali lagi Kiyai Kebon Tubuh bersama seorang Bendesa. Surat itu diterima oleh I Gusti Poh Tegeh lalu dibaca di hadapan I Gusti Ngurah Kubakal, dan I Gusti Ngurah Puajang: "Wahai kamu sekalian para Pasek di pegunungan, serahkanlah para kemenakanku itu untuk aku asuh di Gelgel, semata-mata karena belas kasihanku dan kerinduan serta keinginanku untuk memelihara mereka sebagaimana layaknya para ratu keturunan Dalem; peperangan hanya akan merugikan kita sendiri karena banyak rakyat yang menjadi korban"
I Gusti Poh Tegeh berkata bahwa beliau masih akan membicarakan hal ini kepada para putra, dan sementara agar Kiyai Kebon Tubuh pulang lebih dahulu ke Gelgel; mungkin beberapa hari lagi beliau akan menyusul mengantarkan para putra ke Gelgel. Gusti Poh Tegeh ingin memenuhi perintah Dalem Ketut karena berpendapat bahwa maksud Dalem Ketut sungguh-sungguh baik, namun perlu beberapa hari untuk meyakinkan pendapatnya kepada para putra, terutama Dewa Bagus Dharma sebagai putra tertua.
Sepulangnya Kiyai Kebon Tubuh, Gusti Poh Tegeh memanggil para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan (d.h. Ide Bethara Dalem Tarukan) seraya menyampaikan isi surat Dalem Ketut. Para putra belum sanggup memberi persetujuan hari itu karena masih merasa khawatir akan masa depan mereka di Gelgel sementara mereka sudah betah dan berbahagia tinggal di pegunungan. Gusti Poh Tegeh mempersilahkan para putra untuk berpikir beberapa hari agar mendapat pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan.
Namun tiba-tiba tanpa diduga sama sekali datanglah gelombang serangan yang dahsyat dari para Manca Badung dipimpin oleh I Gusti Gede Kaler disertai Arya Kenceng, Ngurah Mambal, Ngurah Menguwi, dan I Gusti Ngurah Telabah. Gerakan ini sangat mengejutkan dan mengherankan para tokoh pegunungan seperti Gusti Poh Tegeh serta para kerabatnya. Beliau cepat berpikir bahwa gerakan ini bukan perintah Dalem Ketut, melainkan gerakan para arya yang merasa khawatir bila para putra Dalem Tampuwagan kembali ke Gelgel pasti akan diberi kedudukan sebagai Manca yang akan berakibat kedudukan mereka tergeser.
Jadi tujuan serangan kali ini adalah membunuh para putra. Naluri jiwa kesatria Gusti Poh Tegeh bangkit lalu bersama para kerabatnya memimpin perang mempertahankan dan melindungi para putra. Perang berkecamuk seru berhari-hari, namun segera terlihat kekuatan yang tidak seimbang. Pasukan bertahan yang dipimpin I Gusti Agung Bekung bersama Dewa Bagus Dharma dipukul mundur meninggalkan mayat prajurit sekitar 5000 orang.
Pada suatu pagi hari di saat hujan rintik-rintik dan matahari baru bersinar terang-terang tanah gugurlah Dewa Bagus Dharma, putra tercinta Ide Bethara Dalem Tampuwagan. Para Kakek, adik-adik beliau serta seluruh rakyat pegunungan berduka cita sedalam-dalamnya. Beliau sebenarnya mempunyai ilmu kekebalan tubuh pembawaan sejak lahir, namun di saat fajar kekebalan itu sirna sementara; rupanya kelemahan ini diketahui musuh. Beliau direbut berpuluh-puluh prajurit I Gusti Gede Kaler di saat fajar. Tempat gugurnya diberi nama Siang Kangin. Di situ pula layon beliau diupacarakan dan distanakan pada pelinggih yang dibangun, selanjutnya dinamakan Pura Siang Kangin.
Sejak gugurnya Ide Bethara Siang Kangin, rakyat pegunungan menderita kekalahan terus-menerus dalam peperangan. Untuk mencegah korban yang lebih banyak maka para pemimpin rakyat pegunungan berunding lalu mengambil keputusan untuk menyelamatkan para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan.
Cara menyelamatkan para putra disepakati sebagai berikut : Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari diiringi ibunda beliau Gusti Luh Puwaji beserta empat orang saudaranya ke Puri Gelgel meminta perlindungan Dalem Ketut. Gusti Gede Bandem pergi ke Desa Keling (Karangasem). Gusti Gede Belayu berangkat kearah Tabanan, menetap di suatu tempat yang kini bernama Desa Belayu. Gusti Gede Balangan menetap di Desa Pantunan atas jaminan keselamatan dari Gusti Agung Pasek Gelgel. Gusti Gede Dangin atas permintaan beliau, tidak mau turut ke Gelgel, lalu berangkat menuju daerah Den Bukit (Buleleng) diiringi rakyat 12 orang, menuju Desa Sudaji. Demikianlah keenam bersaudara itu berpisah menuju tempatnya masing-masing. Sedih dan pilu hati mereka karena harus berpisah dan meninggalkan kampung halaman, namun pasrah menyerahkan nasibnya kepada Ide Sanghyang Widhi Wasa.
Setibanya Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari di Puri Gelgel, langsung menghadap Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan. Betapa gembiranya Dalem Ketut menerima kemenakan-kemenakan beliau, namun terasa agak kecewa karena tidak semua kemenakannya mau hadir. Tetapi akhirnya beliau maklum setelah mendapat penjelasan dari Gusti Agung Pasek Gelgel bahwa keputusan untuk menuju tempat masing-masing sudah dipertimbangkan dengan baik. Dalem Ketut kemudian memberikan penugrahan kepada para kemenakannya sebagai berikut:
"Kemenakanku semua, janganlah kalian menyamai (memadai) kedudukanku, karena kalian keturunan Kesatria yang telah diturunkan wangsanya dan kini menjadi Wesia Dalem. Sebab-sebab diturunkan wangsamu karena peristiwa di Puri Tarukan yang melibatkan kakakku Ide Bethara Dalem Tampuwagan. Di kemudian hari bila kalian dan keturunanmu melaksanakan upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata-cara seorang Raja karena kalian masih menjadi satu keturunan denganku. Cuntaka hanya tiga malam sebagaimana halnya wangsa Brahmana, Kesatria (para Ratu). Setelah cuntaka habis segeralah mebersih di mata air, selanjutnya ngayab banten pebersihan; setelah itu barulah kembali kesucianmu. Jika kalian berani menyamai kedudukanku, akan kukutuk kalian tiga kali. Hal lain yang harus kalian ingat, janganlah melupakan Pura-pura kahyangan jagat di seluruh Bali, serta janganlah mensia-siakan para Pendeta/Sulinggih dan orang-orang suci agar jagat Bali selalu trepti. Janganlah kalian melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan karena perbuatan itu akan membawa kehancuran sehingga orang-orang Bali tidak lagi bersatu. Peringatan-peringatanku ini berlaku seterusnya sampai ke anak cucu keturunanmu selanjutnya. Bila ada yang melanggar mudah-mudahan menemui bencana dalam hidupnya"
Setelah berlalu beberapa masa, datanglah seorang keturunan Ide Bethara Hyang Genijaya dari Majapahit bernama Sangkul Putih bersama istri dan para putranya. Beliau mendarat di Padang lalu langsung ke Puri Gelgel menghadap Dalem Ketut. Bertepatan saat itu Ide Dalem Ketut sedang memberikan penugrahan kepada para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan yang kali ini hadir secara lengkap, yaitu: Gusti Gede Sekar, Gusti Gede Pulasari, Gusti Gede Bandem, Gusti Gede Belayu, Gusti Gede Balangan, dan Gusti Gede Dangin, sehingga Sangkul Putih turut mendengarkan wejangan beliau sebagai berikut: "Wahai para kemenakanku semua, kini lanjutkan penugrahan yang telah kuberikan beberapa waktu yang lalu sebagai berikut: Jika kalian memahami tentang kemoksan seharusnya kalian menjadi seorang Sulinggih karena kalian adalah seketurunan denganku, yaitu keturunan Brahmana.
Oleh karena itu pula kalian harus selalu berbakti di Kahyangan Brahmana di Tolangkir (Besakih) jangan melewatkan upacara-upacara di sana sekalipun. Jika kalian melupakan, kukutuk kalian menjadi orang Sudra dan kalian tidak lagi menjadi seketurunan denganku. Demikian juga kalian harus berbakti di Kahyangan Ide Bethara Hyang Genijaya yang ada di Lempuyang dan di Tolangkir sesuai sabda Ide Bethara Brahma. Jika kalian melalaikan peringatanku ini mudah-mudahan hidupmu susah senantiasa kekurangan, kesasar tidak menemukan arah hidup. Kalian adalah keturunan Brahmana, maka bila meninggal dunia, layon harus dibungkus oleh daun muda pisang gedang Kaikik sebab ketika leluhur kita lahir beliau dialasi oleh daun muda pisang gedang Kaikik. Jika tidak demikian kalian dan keturunan kalian bukan warih Dalem.
Selanjutnya beliau Dalem Ketut bersabda : "Apa yang aku anugrahkan kepadamu tadi dan selanjutnya ini adalah wahyu dari Ide Bethara Hyang Genijaya yang berstana di Lempuyang. Kalian para kemenakanku, janganlah lupa memuja dan memohon anugrah kepada Ide Bethara di Penataran Agung, Tolangkir, juga kepada I Ratu Pande, I Ratu Gede Penyarikan, serta nuntun para arwah leluhurmu untuk distanakan di tempat keturunanmu. Taatlah melaksanakan kedharmaan, jangan menentang peraturan-peraturan. Diantara keturunan-keturunanmu janganlah satu sama lain tiada mengakui bersaudara, paling tidak mengaku memisan atau memindon. Di mana pun kamu berada tetaplah mengaku bersaudara; jika lupa atau tidak mengakui saudara, mudah-mudahan kamu kehilangan "soda", yaitu selalu kekurangan makanan dan minuman.
Beberapa waktu kemudian, Ide Dalem Ketut kembali mengumpulkan para kemenakan beliau (putra-putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan) lalu meneruskan penugrahan yang diterima dari para putra-putri Sanghyang Pasupati, yaitu Ide Bethara Mahadewa yang berstana di Tolangkir dan adik beliau Ide Bethari Dewi Danu yang berstana di Danau Batur sebagai berikut: Apabila diantara kalian atau keturunanmu di kemudian hari ada yang mampu Madwijati, diperkenankan pada upacara pelebon menggunakan padma trawang, pisang gedang kaikik, gamet (kapas), kesumba, serta bertingkat 5 (nista), 7 dan 9 (madia), dan 11 (utama).
Itu adalah demi kesejahteraanmu. Jika mayat kalian dibakar, cuntake hanya 3 (tiga) malam; jika ditanam 7 (tujuh) malam; Jika mayat kalian dibakar, harus dilakukan upacara ngeleb awu ke segara/sungai disertai upacara ngirim; jika dilalaikan, mudah-mudahan kamu menjadi manusia yang derajatnya paling rendah karena tidak membela kewangsaan serta tidak mengenal kawitan.
Selanjutnya Dalem Ketut bersabda: "Kalian kemenakanku, walaupun kalian telah disurud-wangsakan, namun kalian masih aku anugerahi hak-hak sebagai berikut: seketurunan kalian tidak kena kewajiban-kewajiban/pungutan (pajak), tidak kena pejah pajungan (hukuman mati), tidak kena cecangkriman (pembuangan), tidak kena ambungan (hukuman cambuk), tidak kena sasarandana (pungutan adat), tidak kena pepanjingan (larangan masuk ke suatu wilayah), tidak kena pecatuan (iuran di Pura), tidak kena perintah. Para penguasa di daerah, yaitu Manca dan Punggawa diberitahu semua penugrahan Ide Bethara Dalem Ketut tersebut untuk ditaati dan diindahkan, ditambah lagi penekanan agar mereka senantiasa menghormati para kemenakan beliau seketurunan. Apabila ada yang berani menentang atau tidak melaksanakan, mudah-mudahan hilang kesaktiannya dan luntur kewibawaannya.
Beberapa waktu kemudian Ide Dalem Ketut memberikan tambahan wejangan setelah mendapat wahyu dari Ide Bethara Brahma: "Jika kalian dan keturunanmu meninggal, kalian harus memohon melalui Sangkulputih tirta Yeh-Tunggang dari Gunung Agung sebagai tirta pengentas. Oleh karena itu kawitan serta semua arwah leluhurmu berstana di Gunung Agung (Tolangkir) sehingga kamu wajib berbakti kepada kawitan dan arwah leluhurmu di Pedarmaan Besakih.
Bila ada keturunanmu yang sudah mebersih wenang naik-turun di pelinggih-pelinggih di Tolangkir dalam upacara yadnya. Bila ada keturunanmu yang mampu Madwijati/Madiksa, wenang mengajarkan ilmu, sastra, dan kedharmaan kepada saudara-saudaranya sehingga menjadi orang-orang yang terhormat serta diikuti petunjuk-petunjuknya oleh orang lain. Jika semuanya kalian taati dan laksanakan dengan kokoh dan tekun, mudah-mudahan kalian dapat mencapai moksah.
Selain memberikan penugrahan di bidang agama dan kedharmaan, Ide Dalem Ketut juga memberikan "Mantri sesana", yaitu tata susila sebagai pejabat yang bertugas dan berkedudukan sebagai berikut : I Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan diberikan tanah kebun 15 sikut disertai Ibunda beliau Ni Gusti Luh Puaji. I Gusti Gede Pulasari kembali ke Pulasari sebagai Dukuh menguasai pedukuhan Pulasari (Bunga), Tampuwagan, Peninjoan, Karang-suwung, dan Manikaji. I Gusti Gede Bandem diberi kedudukan sebagai Manca di Nagasari, meliputi: Tihingan, Kayuputih, Uma-anyar, dan Bangkang. I Gusti Gede Belayu diangkat sebagai Manca di Ogang, meliputi: Semseman, Mijil, Sanggem, Sangkan Gunung, Pakel, dan Sangkungan. I Gusti Gede Balangan tetap tinggal di istana Gelgel. I Gusti Gede Dangin kembali ke Sudaji.
Kecuali I Gusti Gede Dangin, semua putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan diberikan pamancanggah yang memuat penugrahan tersebut di atas ditambah dengan gambar rerajahan rurub kajang dan rerajahan daun pisang Kaikik selengkapnya. Pamancanggah itu disahkan dan diumumkan oleh Ide Dalem Ketut pada Hari Kamis, Umanis, wuku Ukir, panglong ping 13 (telulas) sasih Kapat, Isaka 1339 (1417 M). Pamancanggah itu diupacarai/dipasupati sebagaimana mestinya. Sesampainya di tempat kedudukan masing-masing, para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan menempatkannya di pelinggih pemerajan dan dipuja oleh seketurunan beliau-beliau. Bila ada yang mengabaikan kewajiban memuja dan mentaati pamancanggah itu mudah-mudahan dikutuk oleh Ide Bethara Kawitan.
Silsilah Ide Bethara Dalem Tarukan.
Sanghyang Pasupati berputra :
1. Bhatara Hyang Gnijaya
2. Bhatara Hyang Putranjaya
3. Bhatari Dewi Danuh
4. Bhatara Hyang Tugu
5. Bhatara Hyang Manikgalang
6. Bhatara Hyang Manikgumawang
7. Bhatara Hyang Tumuwuh
Bhatara Hyang Gnijaya berputra Mpu Withadharma (Sri Mahadewa)
Mpu Withadharma berputra :
1. Mpu Bhajrasattwa (Mpu Wiradharma)
2. Mpu Dwijendra (Mpu Rajakretha)
Mpu Bhajrasattwa berputra : Mpu Tanuhun (Mpu Lampita)
Mpu Tanuhun berputra :
1. Mpu Gnijaya
2. Mpu Sumeru (Mpu Mahameru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha)
5. Mpu Bharadah (Mpu Pradah)
Mpu Bharadah berputra :
1. Mpu Siwagandu
2. Ni Dyah Widawati
3. Mpu Bahula
Mpu Bahula berputra :
1. Mpu Tantular (Mpu Wiranatha)
2. Ni Dewi Dwararika
3. Ni Dewi Adnyani
4. Ni Dewi Amerthajiwa
5. Ni Dewi Amerthamanggali
Mpu Tantular berputra :
1. Danghyang Kepakisan
2. Danghyang Smaranatha
3. Danghyang Sidhimantra
4. Danghyang Panawasikan
Danghyang Kepakisan berputra : Sri Soma Kepakisan
Sri Soma Kepakisan berputra :
1. Sri Juru (Dalem Blambangan)
2. Sri Bhima Sakti (Dalem Pasuruan)
3. Sri Kepakisan (Dalem Sumbawa)
4. Sri Kresna Kepakisan (Dalem Bali)
Sri Kresna Kepakisan berputra :
1. Dalem Samprangan
2. Dalem Tarukan
3. Dewa Ayu Wana
4. Dalem Sri Smara Kepakisan
5. Dewa Tegal Besung
Mpu Tanuhun (Mpu Lampita) berputra lima, yaitu Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah. Kelimanya disebut Panca Tirta. Mpu Gnijaya menurunkan Sapta Rsi, yaitu: Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka, dan Mpu Dangka.
Beliau bertujuh selanjutnya, lama-kelamaan menurunkan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Saudara bungsu Mpu Gnijaya yaitu Mpu Bharadah lama-kelamaan menurunkan Para Gotra Sentana Dalem Tarukan atau dikenal sebagai warga Pulasari.
Adanya tali kekeluargaan seperti itulah yang disadari oleh warga Pasek di pegunungan di saat beliau-beliau membantu dan menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan di pengungsian sebagaimana telah diuraikan di muka. Patutlah warga Pulasari berhutang budi kepada warga Pasek. Kesadaran ini pula yang mungkin mendasari ide pembangunan Pura Pusat Pulasari berdampingan dengan Pura Pasek.
Di Gelgel, semasa pemerintahan Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan dibangun pula Pura Dasar Bhuwana yang disungsung oleh warga keturunan Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan, Ide Bethara Mpu Gnijaya (Pasek Sanak Sapta Rsi), dan keturunan Ide Bethara Mpu Saguna (Maha Smaya Warga Pande). Lama-kelamaan, disungsung pula oleh seluruh rakyat Bali, mengingat di Pura Dasar Bhuwana distanakan Raja (Dalem) pertama di Bali.
"Kepakisan" asal katanya "Pakis" berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar Kepakisan yang diberikan kepada Kesatria adalah: Sira-Arya Kepakisan. Beliau adalah keturunan Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa). Gelar "Paku" di Jawa pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura: Paku Buwono I pada tahun 1706 M.
Di Bali gelar "Pasek" yang berasal dari perkataan "Pacek"(= paku) pertama kali digunakan oleh Arya Kepasekan, yaitu putra Mpu Ketek yang termasuk kelompok Sapta Rsi. Ada juga warga Pasek yang di luar kelompok Sapta Rsi, yaitu keturunan dari Mpu Sumeru yang berputra Mpu Kamareka, selanjutnya menurunkan warga Pasek Kayu Selem, Pasek Celagi, Pasek Tarunyan, dan Pasek Kayuan. Beliau-beliau juga sangat besar jasanya menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan.
Kesimpulannya bahwa gelar: Kepakisan, Paku, Pasek bermakna dan berderajat sama yaitu sebagai fungsi kekuasaan atau pemimpin di suatu wilayah tertentu atau pemimpin suatu penugasan/jabatan tertentu yang didelegasikan oleh Dalem (Kaisar = Maha Raja, atau Raja)
Bisama Ide Bhatara Dalem Tarukan.
Yang dimaksud dengan Bisama Ide Bhathara Dalem Tarukan adalah pesan beliau yang bersifat sakral ditujukan kepada semua keturunan beliau menyangkut tentang hak, kewajiban, larangan, dan keharusan dalam penyelenggaraan kehidupan, hal mana bila dilanggar dipercaya akan mendapat kutukan dan akan mendatangkan bencana.
Dari riwayat beliau dicatat Bisama-Bisama sebagai berikut :
1. Tidak merabas pohon atau memakan buah: Jawa, Jali.
2. Tidak mengurung, membunuh, atau memakan daging burung Puyuh dan Perkutut.
3. Tidak memakan beras mentah.
4. Mayat yang dikubur atau dibakar kepalanya di arah Barat.
5. Tidak memelihara dan memakan daging Manjangan.
6. Tidak menerima sebutan/ucapan: "cai" dan "cokor I Dewa"
7. Boleh menerima sebutan/ucapan: "Jero", "Ratu", "Gusti"
8.
Upacara pelebon boleh menggunakan:
• Sebagaimana layaknya seorang Raja.
• Pemereman Padma Terawang
• Pemereman Bade Tumpang Pitu
• Benusa
• Tumpang salu dari bambu “ampel” kuning
• Ulon
• Jempana
• Rurub Kajang Pulasari
• Daun Pisang Kaikik
• Bale Gumi berundak tujuh
• Bale Silunglung
• Damar kurung
• Upacara ngaskara lengkap
9. Tidak membuang atau menyia-nyiakan makanan, minuman, dan uang.
Penugrahan
Yang dimaksud dengan penugrahan adalah wewenang, kedudukan dalam jabatan Pemerintahan Kerajaan, ijin menggunakan atribut pada saat upacara Manusia yadnya, Resi yadnya, dan Pitra yadnya yang diberikan oleh Dalem atau Pejabat yang berkuasa pada saat penugrahan itu diberikan kepada warga Pulasari.
Penugrahan juga melingkup tata kehidupan lainnya, seperti hubungan persaudaraan, hubungan sosial, keharusan mentaati ketentuan-ketentuan adat dan agama, dan lain-lain.
Penugrahan pertama yang tercatat dalam Babad Pulasari adalah penugrahan yang dikeluarkan oleh Ide Bethara Dalem Sri Semara Kepakisan.
Dalam perkembangan sejarah, penugrahan itu ada yang diubah, ditambah, dan dikurangi sesuai dengan politik pemerintah/kerajaan atau penguasa setempat di pemukiman warga Pulasari.
Dari Babad Pulasari dicatat penugrahan Ide Bethara Dalem Sri Semara Kepakisan sebagai berikut :
01. Warga Pulasari telah "kesurud wangsa"-kan menjadi Wesia Dalem sehingga diminta untuk tidak “memada-mada” Dalem.
02. Namun demikian dalam upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata cara seorang Raja.
03. Cuntaka kematian : Bila dibakar, 3 malam; bila ditanam, 7 malam
04. Selalu berbakti di Pura-pura Kahyangan Jagat Bali
05. Selalu bakti dan ingat pada Pedanda dan orang-orang suci.
06. Jangan melakukan hubungan suami-istri di luar perkawinan (berzina)
07. Bila mampu dapat mempelajari kemoksaan sehingga menjadi seorang Dwijati dengan gelar Bhagawan, karena warga Pulasari (Pagosedata) masih berdarah Brahmana; karena itu wajib pula berbakti di Pedarmaan Brahmana di Besakih serta pelinggih Ide Bethara Hyaang Gnijaya di Tolangkir dan di Lempuyang, pelinggih I Ratu Pande dan I Ratu Gede Penyarikan di Besakih.
08. Semua warga Pulasari satu sama lain harus tetap mengaku bersaudara, paling tidak mengaku memisan atau memindon.
09. Pedoman upacara pelebon: bagi Sulinggih: pemereman padma trawang bertingkat : 5,7,9, atau 11, daun pisang Kaikik, gamet, kesumba.
10. Jika mayat dibakar (bakar biasa atau pelebon) wajib melaksanakan upacara ngeleb awu ke sungai atau laut.
11. Dibebaskan dari: pajak, pejah panjungan, cecangkriman, ambungan lalang, sasasrandana, pepanjingan, pecatuan dan perintah. Para Manca dan Punggawa agar mentaati ketentuan ini.
12. Pada upacara kematian agar meminta tirta pengentas "Yeh-Tunggang" dari Tolangkir melalui Ki Pemangku.
13. Jabatan yang diberikan: Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan, Gusti Gede Pulasari sebagai Dukuh di Pulasari, Gusti Gede Bandem sebagai Manca di Nagasari, dan Gusti Gede Belayu sebagai Manca di Ogang.
14. Kepada para putra yang menduduki jabatan-jabatan tersebut diminta untuk:
1. Melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
2. Memahami ketentuan-ketentuan catur warna
3. Memahami dan melaksanakan asta beratha
4. Menghormati dan menjaga kesucian Pura-Pura Sad Kahyangan
5. Meningkatkan pengetahuan
6. Menghormati dan menjunjung Pemerintah
7. Menghormati dan menjunjung para Pendeta
8. Tidak melakukan perkawinan yang dilarang yaitu mengawini perempuan yang tidak patut dikawini: saudara sebapak / seibu / sekandung, anak guru, wanita yang lebih tua, saudara Bapak / Ibu, anak Paman/Bibi, wanita yang mempunyai suami, wanita yang statusnya lebih tinggi.
----------@---------
Daftar Pustaka :
1. Babad Pulasari, Gedong Kirtiya, Singaraja
2. Babad Pulasari, Puri Agung Klungkung
3. Babad Pulasari, Kantor Dokumentasi Budaya Bali, Prop. Bali, 1998
4. Babad Dalem, Drs. I.B.Rai Putra, Upada Sastra, Denpasar, 1991
5. Babad Pasek, I Gusti Bagus Sugriwa, Pustaka Balimas, Denpasar, 1957
6. Babad Arya Kutawaringin, Drs. I.B.Rai Putra, Upada Sastra, Denpasar, 1991
7. Babad Bali Agung, Seri KGP Bendesa Manik Mas, Rsi Bintang Dhanu Manik Mas dan I N Djoni Gingsir, Yayasan Diah Tantri, Jakarta, 1996
Sekilas Gunung Batur dan Pura Ulun Danu Batur
SEBAGAI stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep masyarakat Batur terkenal dengan sebutan Bhatari Dewi Danuh, Pura Ulun Danu memiliki historis yang sangat menarik, baik berkembang secara turun-temurun sebagai cerita rakyat yang hidup di Batur serta masyarakat pemuja di sekitarnya, maupun sebagaimana termuat dalam beberapa babad.
Paling tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat dalam Babad Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi, Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta Babad Kayu Selem yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk. Bahkan sejarah pura ini juga termuat dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk. Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur dapat diuraikan sebagai berikut.
Zaman Bahari
Dalam versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan Selaparang masih menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut terombang-ambing. Beliau lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali.
''Nanda bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda bertiga datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak terombang-ambing, '' demikian sabda Hyang Pasupati. ''Mohon maaf, nanda ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman, '' jawab ketiga putranya. ''Nanda jangan khawatir,'' tandas Hyang Pasupati. Begitulah, akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di Gunung Agung, dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam. Bhatara Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang, Bhatara Putra Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan Gunung Batur sebagai puncaknya.
Setelah itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana di Andakasa, Gunung Beratan (Pucak Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.
Purana Tatwa Batur
Siapa dan bagaimana Gunung Batur serta Beliau yang bersemayam di Pura Ulun Danu Batur, tersirat pula dalam salah satu bagian: Raja Purana Pura Ulun Danu Batur -- Purana Tatwa. Begitu pula, uraian ini sangat populer di sekitar pemuja Pura Ulun Danu Batur.
Kisahnya adalah: Tersebutlah tiga putra Bhatara Indra yang berstana di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, bertanya pada kakeknya Hyang Pasupati di Gunung Semeru. ''Mohon maaf Kakek Bhatara, siapakah gerangan ayahanda cucunda?''
''Oh kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar cucunda menjumpai ayahanda''. ''Nah nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu), sekarang berangkatlah ke Tirta Empul antarkan kemenakan nanda menghadap ayahandanya. ''
Demikianlah I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara Indra serta I Ratu Ayu Arak Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya telah tiba di stana Bhatara Indra di Tirta Empul, dan langsung menghadap Bhatara Indra. ''Oh dinda Dewi datang, siapa kiranya anak tampak ketiga ini?''.
''Oh kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula di Semeru bersama ayahanda''. ''Oh begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda sudah tua, dan pandangan ayah sudah berkurang''.
''Nah, nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa yang akan nanda minta?''. ''Mohon maaf ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang besar serta air suci''. ''Oh kalau itu, baiklah, kini ayah beri nama nanda I Ratu Gede Gunung Agung, dan di sanalah nanda menetap di bekas tempat ayah di pertengahan Gunung Agung, dan ini air suci, nanti beri nama tirta Mas Manik Kusuma.'' Begitulah, beliau lantas berstana di sekitar pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya, ''Nanda yang kedua I Gede Nengah, apa yang nanda minta?''. ''Hamba juga minta air suci''. ''Nah nanda I Gede Nengah tempatkanlah air suci ini di barat laut tempat ibunda, dan beri nama tirta Mas Manik Mampeh. Letaknya di barat laut Danau Batur.''
''Nah nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda minta?''. ''Nanda minta balai agung''. Beliau diberikan dan distanakan di Manukaya. Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan agar mengantarkan I Ratu Ayu Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju arah timur laut, di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung I Ratu Ayu Mas Membah istirahat sambil nafasnya ''ah-ah, ah'', sehingga tempat itu disebut Basang Ah.
Perjalanan dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu penduduk sedang rapat. Mangku Pucangan berkata: ''Tuan berhenti sebentar bersidang, ini Paduka datang''.
Mereka tertawa karena melihat wujud Ida Bhatari layaknya ukiran janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan. ''Oh ha, ha, ha dimana ada Bhatari, orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak capak''. Ida Bhatari berkenan menunjukkan wajah aslinya dan berkata, ''Nanti jika kalian semua memuja kepada-Ku, masih di pintu gerbang akan diterbangkan angin''. Begitulah yang terjadi sampai saat ini, biasanya sesaji warga Pengotan, hancur di candi Pura Ulun Danu Batur.
Perjalanan dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau sangat luas dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah payau lalu benang tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah air payau Beliau berkata, ''Sudahlah Mangku Pucangan tempatkan Aku di sini''.
Begitu Beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi sebuah gunung tepat di tengah payau (danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tempur/ Tempuh Hyang. Artinya bekas pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur Hyang adalah Gunung Lebah yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran rendah, serta Gunung Sinarata -- yang diartikan oleh masyarakat Batur ''gunung yang mendapat sinar matahari secara merata''.
Demikianlah ceritanya, dan secara berkelanjutan akibat letusan Gunung Batur, mereka berpindah ke atas, serta puranya bernama Pura Ulun Danu Batur yang pujawalinya jatuh setiap Purnama Kedasa.
* Jro Mangku I Ketut Riana
sumber: www.balipost.co.id
Tinjauan Babad Sekilas Gunung Batur dan Pura Ulun Danu Batur
Sekilas Gunung Batur dan Pura Ulun Danu Batur
Jumat (26/4) kemarin, bertepatan dengan Paing Dungulan adalah Purnama Kedasa. Sebagaimana biasa saat itu berlangsung upacara besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa Batur, Kintamani, Bangli. Pura Ulun Danur Batur sebagai kahyangan jagat umat Hindu di Bali, dimulialan sebagai stana Bhatara Wisnu. Sedangkan Bhatara Siwa di Besakih dan Brahma di Lempuyang Luhur, Karangasem.
SEBAGAI stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep masyarakat Batur terkenal dengan sebutan Bhatari Dewi Danuh, Pura Ulun Danu memiliki historis yang sangat menarik, baik berkembang secara turun-temurun sebagai cerita rakyat yang hidup di Batur serta masyarakat pemuja di sekitarnya, maupun sebagaimana termuat dalam beberapa babad.
Paling tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat dalam Babad Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi, Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta Babad Kayu Selem yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk. Bahkan sejarah pura ini juga termuat
dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk. Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur dapat diuraikan sebagai berikut.
Zaman Bahari
Dalam versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan Selaparang masih menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut terombang-ambing. Beliau lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali.
''Nanda bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda bertiga datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak terombang-ambing,'' demikian sabda Hyang Pasupati. ''Mohon maaf, nanda ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman,'' jawab ketiga putranya. ''Nanda jangan khawatir,'' tandas Hyang Pasupati. Begitulah, akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di Gunung Agung, dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam. Bhatara Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang, Bhatara
Putra Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan Gunung Batur sebagai puncaknya.
Setelah itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana di Andakasa, Gunung Beratan (Pucak Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.
Purana Tatwa Batur
Siapa dan bagaimana Gunung Batur serta Beliau yang bersemayam di Pura Ulun Danu Batur, tersirat pula dalam salah satu bagian: Raja Purana Pura Ulun Danu Batur -- Purana Tatwa. Begitu pula, uraian ini sangat populer di sekitar pemuja Pura Ulun Danu Batur.
Kisahnya adalah: Tersebutlah tiga putra Bhatara Indra yang berstana di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, bertanya pada kakeknya Hyang Pasupati di Gunung Semeru. ''Mohon maaf Kakek Bhatara, siapakah gerangan ayahanda cucunda?''
''Oh kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar cucunda menjumpai ayahanda''. ''Nah nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu), sekarang berangkatlah ke Tirta Empul antarkan kemenakan nanda menghadap ayahandanya.''
Demikianlah I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara Indra serta I Ratu Ayu Arak Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya telah tiba di stana Bhatara Indra di Tirta Empul, dan langsung menghadap Bhatara Indra. ''Oh dinda Dewi datang, siapa kiranya anak tampak ketiga ini?''.
''Oh kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula di Semeru bersama ayahanda''. ''Oh begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda sudah tua, dan pandangan ayah sudah berkurang''.
''Nah, nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa yang akan nanda minta?''. ''Mohon maaf ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang besar serta air suci''. ''Oh kalau itu, baiklah, kini ayah beri nama nanda I Ratu Gede Gunung Agung, dan di sanalah nanda menetap di bekas tempat ayah di pertengahan Gunung Agung, dan ini air suci, nanti beri nama tirta Mas Manik Kusuma.'' Begitulah, beliau lantas berstana di sekitar pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya, ''Nanda yang kedua I Gede Nengah, apa yang nanda minta?''. ''Hamba juga minta air suci''. ''Nah nanda I Gede Nengah tempatkanlah air suci ini di barat laut tempat
ibunda, dan beri nama tirta Mas Manik Mampeh. Letaknya di barat laut Danau Batur.''
''Nah nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda minta?''. ''Nanda minta balai agung''. Beliau diberikan dan distanakan di Manukaya. Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan agar mengantarkan I Ratu Ayu Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju arah timur laut, di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung I Ratu Ayu Mas Membah istirahat sambil nafasnya ''ah-ah, ah'', sehingga tempat itu disebut Basang Ah.
Perjalanan dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu penduduk sedang rapat. Mangku Pucangan berkata: ''Tuan berhenti sebentar bersidang, ini Paduka datang''.
Mereka tertawa karena melihat wujud Ida Bhatari layaknya ukiran janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan. ''Oh ha, ha, ha dimana ada Bhatari, orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak capak''. Ida Bhatari berkenan menunjukkan wajah aslinya dan berkata, ''Nanti jika kalian semua memuja kepada-Ku, masih di pintu gerbang akan diterbangkan angin''. Begitulah yang terjadi sampai saat ini, biasanya sesaji warga Pengotan, hancur di candi Pura Ulun Danu Batur.
Perjalanan dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau sangat luas dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah payau lalu benang tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah air payau Beliau berkata, ''Sudahlah Mangku Pucangan tempatkan Aku di sini''.
Begitu Beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi sebuah gunung tepat di tengah payau (danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tempur/ Tempuh Hyang. Artinya bekas pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur Hyang adalah Gunung Lebah yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran rendah, serta Gunung Sinarata -- yang diartikan oleh masyarakat Batur ''gunung yang mendapat sinar matahari secara merata''.
Demikianlah ceritanya, dan secara berkelanjutan akibat letusan Gunung Batur, mereka berpindah ke atas, serta puranya bernama Pura Ulun Danu Batur yang pujawalinya jatuh setiap Purnama Kedasa.
* Jro Mangku I Ketut Riana
sumber: http://www.balipost.com/balipostcetak/2002/4/27/bd1.htm
Ratu Pasek
Jika kita hadir ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel, Klungkung, maka jika kita masuk ke utama mandala, maka setelah melewati gerbang dan belok kekiri, kita akan menjumpai pelinggih berupa Meru Tumpang Tiga yang merupakan tempat pemujaan Ratu Pasek. Juga jika kita hadir ke Pura Besakih dikomplek Parahyangan Leluhur, maka tepatnya di Pura Catur Lawa kita juga akan menjumpai pelinggih berupa Meru Tumpang Pitu yang juga tempat memuja Ratu Pasek. Lalu siapa Ratu Pasek ini?
Bangunan Meru Tumpang Tiga di Pura Dasar Bhuwana Gelgel adalah tempat memuja Mpu Ghana yang merupakan saudara ketiga dari Panca Tirta (Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah). Mpu Ghana penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari Senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Beliau berparahyangan di Gelgel dan menjalani kehidupan Brahmacari (tidak kawin seumur hidup). Pada tahun saka 1198 (tahun 1267 Masehi) tempat ini oleh Mpu Dwijaksara (Leluhur Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel) dibangun sebuah pura yang disebut Babaturan Penganggih. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang dinobatkan tahun saka 1302 (tahun 1380 Masehi) pura ini ditingkatkan menjadi Pura Penyungsungan Jagat dengan nama Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Di samping menjadi Pura Penyungsungan Jagat juga menjadi penyungsungan pusat 3 (tiga) warga, yaitu Warga Pasek, Warga Satrya Dalem, dan Warga Pande.
Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong tiba di Bali pada tahun saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh) dan setelah menjadi Purohita kerajaan Gelgel, kemudian di Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambah lagi satu pelinggih untuk Danghyang Nirartha dan keturunannya, sehingga pura itu menjadi pusat penyungsungan empat warga.
Bagaimana dengan Ratu Pasek yang di Besakih? Beliau adalah Mpu Semeru, yang kedua dari Panca Tirta. Beliau adalah pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi). Beliau berparahyangan di Besakih dan menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliau mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Kayuselem (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan). Di bekas parahyangan Mpu Semeru inilah sekarang berdiri Pura Ratu Pasek (Caturlawa Besakih).
Kalau kita sudah ketahui siapa yang dimaksud Ratu Pasek ini, maka seharusnya seluruh pratisantana Sang Panca Tirta seperti: Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Gusti, Kayu Selem, dan lain-lain, wajib melakukan puja bakti di sini. Kenyataannya umat yang datang melakukan puja bakti kebanyakan adalah Semeton Pasek. Kenapa bisa begitu? Apakah karena disebut dengan Ratu Pasek, sehingga kesannya hanya untuk Semeton Pasek? Apakah mungkin diganti saja dengan nama beliau, yaitu Mpu Ghana dan Mpu Semeru?
Ada suatu kejadian terkait dengan hal di atas. Seorang kawan di Bali yang nama depannya “I Gusti” menyampaikan pada saya, bahwa ada larangan dari keluarganya untuk menyembah Pasek atau leluhur Pasek. Dia kemudian tertegun setelah saya katakan, bahwa leluhurnya beberapa tingkat dari garis perempuan (Pradana) bernama Ni Luh Pasek. Ada juga kawan saya yang kalau di Bali masih menyebut keluarga Brahmana mengatakan hal yang sama. Sayangnya saya belum sempat menyampaikan, bahwa salah seorang dari enam istri leluhurnya (Danghyang Nirartha) adalah keturunan Bendesa Mas yang adalah keturunan Pasek Gelgel. Pandangan seperti ini bukan hanya terjadi pada dua teman saya itu, tetapi sudah menjadi pendapat banyak orang khususnya di Bali, karena ketidak-tahuan mereka tentang keadaan yang sebenarnya.
Ini adalah keberhasilan politik masa lalu yang mengkotak-kotakkan manusia. Di samping itu banyak semeton Pasek di masa lalu yang tidak mau mengikuti jejak leluhurnya menjadi pemuka agama, dan mereka memilih menjadi petani bahkan menjadi abdi. Akibatnya cap Pasek dianggap rendah, dan akhirnya parhyangan Ratu Pasek pun seperti “dihindari” oleh sebagian orang.
Semeton Pasek banyak tangkil memuja Ratu Pasek karena secara kuantitas Semeton Pasek terbanyak di Bali. Jika saja orang Bali tetap bhakti kepada leluhurnya yang sejati, Ratu Pasek akan lebih banyak lagi dipuja umat, karena Beliau sejatinya adalah Panca Tirtha. Jadi bukan dihindari. Kini, pada saat bencana alam banyak terjadi di Negara kita seharusnya menyadarkan kita untuk lebih meningkatkan bhakti pada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan. Mintalah petunjuk pada Hyang Widhi, dan minta juga restu dari Ratu Pasek.
sumber: http://pasektangkas.blogspot.com/2007/10/pasek.html
Babad Kayu Selem
http://www.scribd.com/doc/18533975/Babad-Pasek-Kayu-Selem
Babad Pasek Kayu Selem Kayu Putih
Sumber: |
Ida I Dewa Gde Catra |
Jalan Untung Surapati Gg. Flamboyan No. 2 Amlapura, Karangasem BALI |
sumber: http://www.babadbali.com/pustaka/babad/babad-pasek-kayu-selem-kayu-putih.htm